Bahasa Gaul Merusak Bahasa Indonesia? oleh Ainun Zakiyah, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.
PWMU.CO – Anda sekarang pasti sering dengar kata anjir. Itu diucapkan oleh anak-anak muda ketika mengumpat, memaki temannya, atau mengungkap perasaan kecewa.
Anjir merupakan perubahan kata dari anjing. Bentuk perubahan kata lainnya: anjay. Itu penghalusan. Eufemisme. Makian yang disopankan. Orang yang dimaki tak merasa tersinggung. Bahkan telah menjadi ungkapan yang menunjukkan keakraban antar teman.
Tapi kalau yang keluar kata anjing berarti itu makian dari orang yang benar-benar marah sekali.
Jika dalam bahasa Jawa makian sejenis itu pakai kata asu. Artinya anjing. Butet Kertarajasa sering mengobral kata makian itu dalam wawancara TV atau medsos ketika dia memaki orang.
Awalnya makian itu produk anak muda Jakarta. Lalu cepat menyebar lewat medsos. Apalagi artis-artis juga sering memaki pakai kata itu di TV sehingga anak-anak muda di kota lainnya meniru.
Itu bahasa gaul atau slang yang populer di zaman sekarang. Bahasa gaul adalah bahasa pergaulan dalam komunitas tertentu. Kosa kata bahasa gaul bisa diserap dari bahasa prokem, bahasa daerah, bahasa asing, atau dialek Jakarta.
Contoh seperti kece (cantik, ganteng), kepo (pingin tahu), lebay (berlebihan), alay (gaya berlebihan), kicep (diam), doi (pacar), gebetan (pacar), ambyar (berantakan).
Bahasa gaul bentuknya bisa berasal dari perubahan bunyi atau akronim. Misal, baper (bawa perasaan), pewe (posisi wuenak), gaje gak jelas. Bucin atau budak cinta. Gercep gerak cepat.
Mager males gerak. Mantul mantap betul. Japri jaringan pribadi. Pansos atau panjat sosial. Modus modal dusta. Cokgan cowok ganteng. Kuper kurang pergaulan. Pelakor perebut laki orang. Salting salah tingkah.
Juga ada bête, move on, gowes, selow berasal dari Bahasa Inggris slow, artinya pelan. BTW (by the way), OTW (on the way), CLBK (cinta lama bersemi kembali).
Dulu ada bahasa prokem seperti nyokap (asal dari nyak), bokap (asal dari babe), bokek, lu, gue. Bahasa prokem ini awalnya dipakai komunitas preman Jakarta dengan menyisipkan kata ok di tengah kemudian ditambah ap di belakang.
Kata Prokem itu dibentuk dengan penyisipan ok dari kata preman menjadi prokeman. Lambat laun akhiran an hilang menjadi prokem.
Ada lagi bahasa anak Jaksel (Jakarta Selatan) yang terbentuk dari serapan Bahasa Inggris seperti boring (bosan), healing (liburan), basically (pada dasarnya), ghosting (suka menghilang), which is (wicis, yang mana), honesty (jujurly), fyi (for your information), cekidot (check it out, lihat ini), dan lainnya.
Bahasa gaul ini produk anak Jakarta yang kemudian meluas ditiru anak muda luar Jakarta. Juga menjadi bahasa gaul di medsos yang makin cepat menyebar.
Bahasa gaul juga disebut bahasa slang itu sebagian sudah dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menambah keragaman kosa kata.
Namun pertanyaannya, bahasa gaul itu memperkaya ragam Bahasa Indonesia atau malah merusaknya?
Pemakaian yang meluas di kalangan anak mudah dikhawatirkan meminggirkan pemakaian Bahasa Indonesia dalam pergaulan. Lebih runyam lagi kalau anak-anak muda itu lama-lama tidak paham bahasa nasionalnya sendiri.
Kalau kosa kata bahasa gaul diterima luas menjadi bahasa percakapan sehari-hari bisa jadi kelak bukan hanya sebagai lingua franca namun berubah menjadi bahasa resmi.
Beberapa kosa kata bahasa Indonesia yang sepadan maknanya akan jarang dipakai sehingga menjadi kuno dan menghilang.
Ini sama sejarahnya dengan kelahiran Bahasa Indonesia yang awalnya berasal dari Bahasa Melayu sebagai lingua franca warga nusantara.
Bahasa Indonesia kemudian cepat berkembang dengan serapan kosa kata baru dari bahasa daerah, Belanda, Portugal, dan Inggris. Beberapa kosa kata lama yang sudah jarang dipakai sehingga menjadi kuno. Akhirnya Bahasa Indonesia berbeda dengan asalnya, Bahasa Melayu.
Kalau bahasa gaul semakin dominan pemakaiannya maka jarak perbedaan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Melayu makin jauh. Orang Malaysia makin benar-benar asing memahami kosa kata Bahasa Indonesia. (*)
Editor Sugeng Purwanto