PWMU.CO – Bung Karno pernah walk out dalam rapat Muhammadiyah. Peristiwa itu saat Bung Karno tinggal di Bengkulu Sumatra sekitar tahun 1939.
Di kota ini, Bung Karno menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu. Mengajar di sekolah menengah. Ketua Cabang Muhammadiyah Hasan Din.
Buku Samaun Bakri: Berjuang untuk Republik hingga Akhir Hayat (2019) karya Erniwati dkk menceritakan, dalam rapat Muhammadiyah Bengkulu bulan Januari 1939, Sukarno protes pemasangan tabir pemisah laki-laki dan perempuan.
Sukarno berpendapat penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir membuat peserta perempuan tidak dapat melihat pembicara laki-laki.
Karena pemikiran belum diterima saat itu, Sukarno lalu walk out meninggalkan rapat.
Dalam buku itu diceritakan, di lain kesempatan Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudja’ dan Samaun Bakri minta pendapat soal tabir itu.
Tokoh Muhammadiyah itu sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudja menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.
Bung Karno mempermasalahkan tabir karena dia berharap Muhammadiyah bisa mengangkat umat dari pandangan kolot. Tabir simbol kekolotan.
Pada wawancara dengan koresponden surat kabar Antara yang dimuat di surat kabar Pandji Islam tahun itu 1939, Sukarno berkata:
”… Saya adalah murid dari historische school van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakikatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”
Menulis Surat ke Mas Mansur
Bung Karno juga meminta ketegasan pandangan Muhammadiyah soal tabir ke Hoofdbestuur KH Mas Mansur, sahabatnya.
Dia menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.
Surat terbuka Bung Karno bertajuk Minta Hukum yang Pasti dalam Soal Tabir dimuat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (1959).
Assalamu alaikum, Saudara yang tercinta!
Atas permintaan dan atas nama banyak kaum intelektuil Indonesia, saya dengan perantaraan Saudara, menulis surat ini kepada semua anggota Muhammadiyah, terutama sekali kepada utusan-utusannya yang akan berkongres di Medan pada penghabisan bulan ini. Dengan sangat saya minta supaya apa yang saya tuliskan di bawah ini diperhatikan betul-betul.
Sebab hal yang saya tuliskan ini bukanlah sekali-kali hal yang ‘remeh’, tetapi betul suatu hal yang mengenai ideologi kaum intellegentzia Indonesia dan kaum Muhammadiyah seluruhnya.
Hal itu ialah hal tabir. Dengan mengucap alhamdulillah kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tindakan protes saya tempo hari, yakni dengan cara demonstratif bersama-sama saya punya isteri meninggalkan satu rapat Muhammadiyah yang memakai tabir sudah membangunkan minat sebagian besar rakyat Indonesia terhadap soal ini.
Ada yang pro, ada yang zakelijk-netral, ada yang anti, ada yang mau menghabisi soal ini dengan alasan-alasan perseorangan yang tidak zakelijk (komersial).
Sekarang sudah nyatalah minat itu sehangat-hangatnya, dan tinggallah kita membicarakan hal ini di Majelis Tarjih nanti dengan tenang dan objektif.
Saya harap Saudara mengerti betul-betul apa yang saya maksudkan tahadi dengan menyatakan bahwa soal ini mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula.
Mengenai ideologi kaum intelektuil, oleh karena kaum intelektual benar-benar tidak bisa simpati kepada tabir itu sebab merekat tahu bahwa tabir itu adalah benar-benar “simbolnya perbudakan kaum perempuan” itu.
Mereka mengira bahwa saya bermaksud mengatakan bahwa orang lelaki Islam dengan sengaja mau memperbudakkan kaum perempuan, lalu menindas kaum perempuan. Saudara tahu bukan begitu maksudnya.
Tabir adalah simbol perbudakan perempuan, sebagaimana misalnya Burgerlijk Wetboek (kode sipil) orang Belanda adalah simbol perbudakan perempuan.
Di dalam Burgerlijk Wetboek itu, sebagai hasilnya historisch maatschappelijk proces (proses sosial sejarah), hak-hak kaum perempuan Eropah banyaklah diikat dan digunting. Tetapi siapakah orang yang mau mengatakan bahwa orang lelaki Eropah memperbudak perempuan Eropah?
Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang Eropah sangat beleefd dan galant terhadap kaum perempuannya?
Namun, tiap-tiap orang yang mengetahui seluk-beluknya Burgerlijk Wetboek akan membenarkan perkataan saya bahwa Burgerlijk Wetboek itu adalah simbol perbudakan perempuan, dan bahwa oleh karenanya Burgerlijk Wetboek itu bersifat tidak sempurna dan tidak boleh menjadi teladan bagi kita.
Tidak, Saudara Mansur yang tercinta. Susunan Burgerlijk Wetboek bukanlah akibat dari persengajaan individu kaum lelaki Eropah mau menghina kaum perempuan, bukanlah akibat bewust willen (keinginan secara sadar), tetapi adalah akibat dari susunan masyarakat Eropa, dari perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat Eropa dari historisch maatschappeljike verhoudingen (hubungan sosial sejarah) di kalangan orang Eropa.
Maka begitu pula, kalau saya mengatakan bahwa tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan, maka bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam sengaja mau menindas kaum perempuan, bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam semuanya orang jahat, tetapi ialah bahwa tabir perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat orang Islam, yakni akibat atau sisa dari historisch maatschappelijke verhoudingen di kalangan orang Islam.
Malahan saya berkata: walaupun misalnya benar orang lelaki Islam zaman sekarang memasang tabir itu justru “mau memuliakan orang perempuan”, begitulah setengah alasan dari pro tabir, maka saya tetap menamakannya simbol perbudakan!
Bukan kehendak individu yang di sini harus kita pertimbangkan, tetapi adalah kedudukan masyarakat, perbandingan-perbandingan masyarkat! Misalnya saudara mengurung burung di dalam sangkar emas, memberikan kepadanya makan dan minum yang lezat, menempatkan sangkar itu di dalam bilik yang terindah untuk memuliakan dia, tidakkah benar kalau saya berkata bahwa Saudara menghukum burung itu?
Itulah sebabnya, maka saya di dalam interview tempo hari mengatakan, bhaw atabir bukan perkataan kain secabik, tetapi ialah satu hal, yang mengenai segenap maatschappelijke positie (posisi sosial) perempuan!
Saudara, saya ulangi lagi: kaum intelektual Indonesia tidak bisa simpati tabir itu, oleh karena mereka dengan cara historisch maatschappelijke analyse, mengetahui bahwa tabir ialah sisanya historisch proces yang mendatangkan perbudakan masyarakat. Mereka merasakan tabir sebagai satu hal yang betul menyinggung ideologi mereka sebab mereka hidup di dalam satu ideologi anti-perbudakan. Marilah kita perhatikan dan benarkan ideologinya kaum intelligentzia itu!
Dan sebaliknya marilah kita kini perhatikan serta menjaga ideologi kaum Muhammmadiyah sendiri! Sebab sebagai tahadi sudah saya katakan, maka tabir adalah mengenai ideologi kaum intelektuil Indonesia dan ideologi kaum Muhammadiyah. Kenapa mengenai pula ideologi kaum Muhammadiyah?
Mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula, oleh karena soal tabir ini menjadi ujian kepada kaum Muhammadiyah betapa jauhkan mereka punya kemuhammadiyahan: apakah benar mereka berideologi muda tak mau lain alasan melainkan Quran dan Hadis;
apakah benar mereka berideologi muda, berani menentang adat yang tidak sesuai dengan Quran dan hadis; apakah benar mereka berideologi muda berani menerima semua hal modern yang nyata dibolehkan oleh agama?
Ideologi Muhammadiyah di dalam kongres Medan ini dibawa di atas padang ujian, dan kaum intelektuil Indonesia menunggu-nunggu dan mendoa-doa, moga-moga ujian itu berhatsillah kiranya yang sesuai dengan zaman.
Ah, Saudara Mansur! Kenapa di dalam soal ini kita merasakan hukum yang buat isteri-isteri Nabi sahaja itu, kepada umum?
Kenapa di dalam soal ini kita mau melebihi kebijaksanaan Allah dan Rasul, yang buat umum tidak menyuruh pasang tabir? Kenapa di dalam soal ini kita berkata, “Ya, diperintahkan sih tidak, tapi dilarang pun tidak”?
Kenapa di dalam soal ini kita begitu? Kenapa misalnya kita, buat menajga jangan sampai ada orang mencuri, tidak tutup sahaja kita punya rumah?
Menutup rumah toch juga tidak dilarang? Atau buat menjaga jangan sampai kita berdusta, tidak kita tutup sahaja kita punya mulut jangan bicara dengan orang lain? Membisu toh juga tidak dilarang?
Sekali lagi: kenapa di dalam soal ini?
Kisah ini dikutip dari muhammadiyah.or.id
Editor Sugeng Purwanto