PWMU.CO – Agus Salim adalah salah tokoh bangsa. Dia termasuk anggota Panitia Sembilan. Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan SK No 657 tahun 1961. Yang menarik, Haji Agus Salim ternyata satu guru dengan KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari.
Mengutip buku Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik – Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa yang diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 20123, H Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari sebenarnya punya satu guru yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1852-1915).
Khatib adalah paman Agus Salim yang pernah jadi imam Mazhab Syafii di Masjidil Haram dan guru terhormat di Universitas Harramain Massajidal. Makkah pada masa itu masih jadi tujuan para calon ulama Indonesia.
Agus Salim pernah berguru padanya selama dia bekerja di konsulat Belanda di Jeddah pada 1906-1911. Pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Asy’ari, juga pernah berguru kepadanya.
Kendati sama-sama berguru ke satu ulama, Agus Salim, Dahlan, dan Hasyim memiliki gaya berislam yang berbeda.
Pada masa itu pula wacana tentang Islam modern oleh Muhammad Abduh dari Mesir mencuat. Pemikiran Abduh mendobrak tradisi Islam yang didominasi empat mazhab besar: Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Abduh mengajarkan agar umat Islam tidak terkungkung pada mazhab itu.
Deliar Noer dalam buku Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa mengatakan ulama asal Minangkabau banyak dipengaruhi ide Abduh. “Kiai Dahlan tidak jauh berbeda dengan mereka,” katanya.
Adapun Hasyim Asy’ari kurang sreg dengan pemikiran Abduh. Dalam Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier disebutkan bahwa Hasyim menilai dalam mempelajari Islam tidak bisa meninggalkan empat mazhab itu.
Hubungan Agus Salim dengan Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan dan Agus Salim memiliki kesamaan dalam menampilkan Islam. Keduanya sama-sama menjadi anggota Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Dahlan resmi menjadi anggota Sarekat Islam sejak berdiri pada 1910 dan Salim lima tahun kemudian. Belakangan Agus Salim menjadi orang dua setelah Haji Oemar Said Tjokroaminoto di nomor dua di organisasi itu.
Ketika Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912, tidak lama kemudian Agus Salim bergabung. Keduanya terpisah ketika Salim memimpin gerakan disiplin organisasi dalam Sarekat Islam: setiap orang hanya boleh bergabung dengan satu organisasi. Salim memilih bertahan di Sarekat Islam dan Dahlan memilih Muhammadiyah.
Meski secara resmi tidak di Muhammadiyah, Salim masih membantu pimpinan Muhammadiyah memperluas jaringan organisasinya dari Karesidenan Yogyakarta. Dalam waktu singkat, Muhammadiyah memiliki divisi baru di Surabaya, Madun, Garut, dan tempat lainnya.
Pemikir yang Lebih Bebas
Jika dakwah Dahlan lebih menggiatkan puritanisasi Islam, seperti memerangi praktik takhayul, bidah, dan khurafat. Agustanzil Sjahroezah, cucu Salim, mengatakan, dalam berdakwah, Salim memilih mendekati Muslim yang berlatar pendidikan Eropa. Tujuannya: “Supaya mereka kembali ke Islam dan ke Indonesia,” kata putra Violet Hanifah, anak ketiga Salim, itu.
Menurut Ibong Salim, panggilan Agustanzil, meski memiliki guru yang sama, kakeknya jarang bertemu dengan Dahlan dan Hasyim, karena keduanya banyak bermukim di daerah. Namun Agus Salim pernah berpesan ketika kedua teman seperguruannya itu membangun pesantren. “Ajari santrimu agar jangan mendewakan guru hingga melupakan Nabi Muhammad,” kata Salim.
Almarhum Syafii Maarif pernah menilai Agus Salim sebagai pemikir Islam yang lebih bebas ketimbang Dahlan dan Hasyim. Tapi membandingkan ketiganya dengan sudut pandang yang sama adalah tidak tepat. “Kebesaran Agus Salim tidak dapat diukur dengan kebesaran Dahlan dan Hasyim,” ujarnya.
Agustanzil mengatakan Salim lebih menyukai diskusi ketimbang dakwah yang bersifat menggurui. Ia suka membuat diskusi dan menghindari membuat perintah. “Ia membuka peluang orang menemukan jawabannya sendiri,” kata Ketua Yayasan Hadji Agus Salim itu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni