Mendudukkan Tasawuf: Berihsan Sebenar-benarnya
Bagi orang yang tidak mengenal Muhammadiyah, boleh jadi akan memperolok Muhammadiyah sebagai paham yang kering akan spiritualitas. Namun, juga boleh jadi memang ada orang Muhammadiyah sendiri yang tak mengenal tasawuf, akan memperolokannya sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman, atau melecehkannya sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Oleh sebab itu tasawuf sudah sewajarnya bahkan seaharusnya masuk museum sebagai barang antik, atau ditinggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan manis dari masa lampau.
Berbagai anggapan tersebut bisa dipahami. Pertama, karena pada umumnya memang belum mengetahui apa itu tasawuf. Kedua, kalaupun sedikit banyak mengetahuinya, pengetahuan kita umumnya terpotong-potong, tidak tuntas dan kurang atau tidak mengerti bagaimana hubungan tasawuf dengan kajian Islam lainnya. Bahkan banyak di antara kita yang tidak tahu bahwa tasawuf adalah salah satu ilmu dalam Islam, sebagaimana ilmu kalam, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu balaghah dan lain-lain.
Apa yang perlu dipahami adalah bahwa tasawuf bukan sebuah paham global oleh sekelompok orang yang disebut para sufi tentang kehidupan ini. Ia bukan sebuah isme, sehingga tasawuf disamakan begitu saja dengan sufisme yang merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris sufism. Istilah ini bisa menyesatkan. Kita pun menolak penggunaan Muhammadanism sebagai ganti dari Islam karena hal yang sama.
“Rasulullah menyebutkan bahwa di dalam Islam ada tiga komponen penting yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.”
Di dalam al-Quran jelas sekali ditegaskan, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia itu kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (al-Adzariat: 56). Namun kemudian juga ditegaskan dalam ayat yang lain bahwa beribadah kepada Allah itu haruslah dilakukan dengan penuh keikhlasan. “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan.” (al-Bayyinah, 5).
Dalam konteks tersebut, ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, aktivitas ibadah yang mencakup segenap perilaku dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan tuntunan Ilahi dan merupakan keharusan bagi kita semua. Kedua, aktivitas ikhlas yang merupakan mutu dan nilai yang diharuskan bagi ibadah itu sendiri.
Dengan kata lain, aktivitas ikhlas merupakan gerak batin dari kehidupan yang sama. Di satu pihak ada gerak dan aktivitas lahiriah, dan di pihak lain ada gerak dan aktivitas batiniah. Keduanya tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan harus merupakan kesatuan yang kompak dan harmonis.
Baca sambungan di halaman 3: Iman, Islam, dan Ihsan