Tasawuf Berkemajuan: Pembentukan Pribadi yang Muhsinin
Kembali kepada Ihsan yang mempunyai dua aspek penting: pengabdian yang didasarkan atas cinta kepada Allah, dan perilaku yang senantiasa berhati-hati dalam hidup karena semua berada dalam pemantauan Allah. Kata Ihsan itu sendiri dalam bahasa Arab berasal dari kata kerja ahsana, yang berarti memperbagus atau memperindah suatu perbuatan.
Sebagai ilustrasi berlaku ihsan ini adalah sebagai berikut. Sebuah kursi berfungsi untuk bisa diduduki dengan enak dan nyaman. Kalau sebuah kursi dibuat tidak tidak hanya untuk keperluan tersebut, namun juga ditambah misalnya dengan hiasan warna dan ukiran-ukiran yang sangat bagus dan menawan, maka sang tukang telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini.
Dalam hal ini diketahui bahwa hiasan warna dan ukiran-ukiran itu tidak punya kegunaan langsung atas fungsi kursi, namun diperlukan untuk memenuhi rasa keindahan yang juga merupakan kebutuhan manusia.
“Bisa diduduki dengan enak dan nyaman” adalah batas minimal bagi sebuah kursi, dan hiasan warna dan ukiran-ukiran itu merupakan nilai tambah yang melampaui batas minimal tadi. Nilai tambah itu dilakukan tidak lain karena ada rasa cinta akan keindahan. Dan sumber keindahan itu tak lain adalah Yang Mahaindah, yaitu Allah SWT.
Contoh lain: Shalat yang diwajibkan dalam Syariah kepada kita adalah lima kali sehari semalam. Ini batas minimal shalat yang harus dipenuhi. Namun, seeorang yang karena cintanya kepada Allah dan rasul-Nya serta cintanya kepada agamanya tidak hanya salat yang lima kali itu, melainkan juga shalat-shalat yang lain yang bersifat sunah, seperti shalat rawatib, shalat dhuha, juga shalat tahajud di pertiga akhir malam. Ia telah melakukan perbuatan ihsan dalam hal ini.
Puasa yang diwajibkan kepada kita hanyalah satu bulan dalam setahun, yaitu selama bulan Ramadhan. Namun seseorang yang karena cintanya seperti tadi, masih menambahnya lagi dengan puasa-puasa sunah seperti puasa Senin-Kamis, puasa Asyura, hari Arafah, dan lain-lain sehingga dengan mudah ia bisa menguasai diri dan jiwanya yang semakin bersih. Ia telah melakukan perbuatan ihsan.
“Dalam kesendiriannya “bersama Allah” banyak melakukan dzikir lisan yang jumlahnya lebih dari yang disyariatkan.”
Persentase zakat yang diwajibkan atas harta yang kita miliki tak lebih dari dua setengah persen per tahun. Namun seseorang yang karena cintanya seperti di atas masih dengan senang hati mengeluarkan sedekah yang lebih banyak lagi dari zakat yang telah dikeluarkannya. Semua itu tak lain untuk kepentingan Islam, fakir miskin dan kepentingan-kepentingan sosial lainnya.
Sahabat Abu Bakar misalnya menyerahkan seluruh hartanya untuk Islam, sahabat lain menyerahkan separuh hartanya, ada yang menyerahkan sepertiga hartanya, ada yang memperlengkapi seluruh pasukan Islam dari kantong pribadinya, dan ada yang membeli sumur dari non-Muslim untuk kepentingan fakir dan miskin kaum Muslimin, dan lain-lain.
Demikian halnya dengan aktivitas dzikirnya yakni mengingat Allah dalam hati, lisan, dan perbuatan. Aktivitas Dzikir yang semula hanya sesaat, dengan ihsan dilakukan setiap saat. Dzikir lisannya mengagungkan Allah, dengah ihsan dilakukan juga setiap saat tanpa ada ucapan cela sedikitpun bahkan kepada makhluk Allah.
Dalam kesendiriannya “bersama Allah” banyak melakukan dzikir lisan yang jumlahnya lebih dari yang disyariatkan. Dizikir dengan perbuatan dalam amal shaleh, dengan ihsan maka tidak hanya perbuatan shaleh untuk diri sendiri, namun juga untuk lingkungan, dan orang lain/umat.
Itu semua juga perbuatan Ihsan. Jadi bisa dikatakan sebagai melakukan sesuatu melampaui batas minimalnya yang telah ditentukan oleh Syariah, didorong oleh rasa cinta dan ketakwaan yang dalam, dan bahwa Allah SWT Maha Mengetahui segenap perbuatan dan tindak-tanduk manusia betapapun kecilnya dan betapapun rahasianya. Tentu semua itu tak lain karena mengharapkan keridhaan-Nya.
Telah dijelaskan, bahwa ilmu tasawuf yang lahir dari aspek akhlak dan budi pekerti yang tinggi, tak lain adalah penjabaran dan pengejawantahan dari komponen ihsan. Dan al-Quran menggambarkan orang-orang yang berbuat ihsan atau muhsinin “adalah mereka yang menginfakkan harta mereka dalam keadaan senang dan dalam keadaan kesukaran, mereka yang bisa menahan amarahnya dan yang memberikan maaf kepada orang-orang. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan” (Ali Imran 134).
Di lain ayat dikatakan, adalah “mereka yang sabar, yang benar dan jujur, yang taat kepada Allah, yang menginfaqkan hartanya dan yang beristighfar pada waktu sahur” (Ali Imran 17). Manurut al Quran, muhsininadalah juga muttaqin atau orang-orang yang bertakwa. Allah mencintai para muttaqin, dan ini Ia nyatakan sebanyak tiga kali dalam al-Quran (kata muttaqin keseluruhan 15 kali disebut). Sedangkan kecintaan Allah kepada para muhsinin dinyatakan-Nya sampai enam kali (kata muhsinin keseluruhan 30 kali disebut). Muhsinin inilah yang dalam ilmu tasawuf disebut para sufi.
Baca sambungan di halaman 5: Ihsan dan Pembentukan Karakter Muhammadiyin