Debat yang Mencerahkan Umat dan Bangsa; Oleh Dr Amirsyah Tambunan, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta
PWMU.CO – Banyak yang bertanya kepada saya, apa sih manfaatnya debat? Apa dasarnya melakukan debat?
Pertanyaan ini sederhana, akan tetapi penting untuk dicermati, terlebih di tahun Politik 2024 agar umat dan bangsa tercerahkan dengan memperkuat literasi, sosialisasi, dan edukasi.
Sebelum menjawab pertanyaan ini ada baiknya memaknai debat yang baik dan benar dengan merujuk al-Qur’an, al-hadis, dan ulama sehingga terhindar dari berdebat kusir dan tidak menjadi berdosa.
Untuk itu bagi penyelenggara Pemilu dan semua pemangku kepentingan perlu memperkuat literasi kata ‘debat’ bagi semua pihak dalam mempersiapkan debat yang lebih baik bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024. Tujuannya agar tidak melanggar etika atau tidak, sopan, bahkan jangan sampai mencela atau melecehkan.
Oleh karena itu untuk memperoleh manfaat debat kita perlu memperkuat literasi yakni, pertama, de·bat /débat/ yakni pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Bedanya, debat kusir yakni debat yang tidak disertai alasan yang masuk aka.
Kedua, ber·de·bat yakni bertukar pikiran tentang suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat.
Ketiga, men·de·bat yakni membantah pendapat orang lain dengan mengajukan alasan; keempat, per·de·bat·an soal yang diperdebatkan; atau perbantahan; kelima, mem·per·de·bat·kan yakni menjadikan bahan untuk berdebat (berbantah); memperbantahkan; keenam, pen·de·bat yakni orang yang mendebat.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan secara terminologi debat adalah kegiatan argumentasi yang bertujuan untuk menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan pendapat orang lain.
Penyebab terjadinya debat adalah adanya perbedaan pendapat oleh pihak-pihak yang meyakini pendapatnya merupakan suatu kebenaran.
Pentinya argumen yang benar dalam berdebat berdesarkan berfirman Allah:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِا لْحِكْمَةِ وَا لْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَا دِلْهُمْ بِا لَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِا لْمُهْتَدِيْنَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.Sesungguhnya Tuhanmu, Beliaulah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Beliaulah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
(an-Nahl 125).
Jika kita telusuri lebih jauh para ulama sudah menaruh perhatian tentang pentingnya debat. Pertama, As-Sa’di berkata ketika menjelaskan tentang maksud dari melakukan debat atau bantahan yang terbaik dari ayat di atas:
“Jika orang yang dida’wahi menyangka bahwa dia berada di atas kebenaran atau dia menyeru kepada kebatilan, maka bantahlah dia dengan cara yang terbaik. Maksudnya adalah metode dakwah yang lebih mendukung untuk diterimanya argumen, secara akal dan dalil syar’i.”
Kedua, di antara metode tersebut adalah berargumen dengan dalil-dalil yang dia yakini kebenarannya. Karena yang demikian ini lebih mendukung untuk dapat mewujudkan tujuan dakwah tersebut.”
Ketiga, bantahan tersebut hendaknya tidak menyebabkan munculnya permusuhan, atau saling mencela, sehingga sirnalah tujuan yang hendak dicapai.”
Keempat, tujuan dari debat (jidal) tersebut adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju jalan kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan bicara atau tujuan yang semisalnya.”
Begitulah pentingnya debat dengan fokus kepada tema permasalahan untuk menunjukkan banyak hal; pertama, mencari kebenaran sejalan hadits riwayat At Tirmidzi dari Abu Umamah, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ: مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً
“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah sebelumnya berada di atas hidayah kecuali mereka suka berdebat (jidal, berdebat kusir)”.
Kemudian Nabi membacakan ayat ‘Mereka tidak memberi perumpamaan itu kepadamu, melainkan dengan tujuan untuk membantah saja.” (az-Zukhruf ayat 58).
وَقَالُوْٓا ءَاٰلِهَتُنَا خَيْرٌ اَمْ هُوَۗ مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ اِلَّا جَدَلًاۗ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُوْنَ
“Mereka berkata, ‘Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?” Mereka tidak memberikan (perumpamaan itu) kepadamu, kecuali dengan maksud membantah saja. Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’”
Kedua, menghindari kesesatan. Al-Mubarakfuri mengatakan dalam Tuhfatul Ahwadzi, “Maksud dari hadits di atas adalah tidaklah kesesatan dan terjatuhnya mereka dalam kekufuran melainkan disebabkan jidal yakni mendebat nabi mereka untuk membela kebatilan dan meminta didatangkannya mukjizat dengan penuh pengingkaran.”
Oleh sebab itu, begitu banyak diriwayatkan dari ulama terhadap debat kusir dan yang semisalnya agar dihindari. Misalnya Imam Malik pernah berkata, “Aku membenci debat dalam permasalahan agama. Dan penduduk negeri kita (Madinah) senantiasa membenci dan melarangnya.”
Begitu juga Imam Malik juga menegaskan tentang kebenciannya terhadap hal di atas, kecuali perbincangan yang dapat mendatangkan kebaikan (kebenaran). Diperkuat Al ‘Awam bin Hausyab berkata, “Waspadalah terhadap perdebatan dalam agama. Karena hal itu dapat menggugurkan amal kalian.”
Begitu besarnya dampak debat kusir, kata Bakr bin Mudhar menyatakan, “Jika Allah menghendaki kesesatan pada suatu kaum, maka Allah akan menenggelamkan mereka dalam perdebatan dan menghalangi mereka untuk beramal.”
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, disampaikan bahwa Nabi.
ليسَ المؤمنُ بالطَّعَّانِ ولا اللَّعَّانِ ولا الفاحشِ ولا البَذيءِ
\“Seorang Mu’min (yang berimaan) bukanlah orang yang suka mencela, atau suka melaknat, atau suka berkata kotor, atau suka berkata-kata cabul.” (HR Tirmidzi No. 1977).
Oleh karena itu debat dengan tenang, pemikiran yang rasional, jernih akan bermanfaat untuk mencerahkan umat dan bangsa. SemogaI (*)
Editor Mohammad Nurfatoni