Jatim Dinamis tapi Kondusif
Sementara itu mengomentari dinamika politik di Jawa Timur (Jatim), Ketua Prodi Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Nasrullah meminta aparat tetap menerapkan pendekatan komunikasi politik yang damai dan tidak represif.
Ia mengapresiasi sikap Polda Jatim yang tegas menolak tuduhan salah satu media bahwa Polda Jatim mengarahkan pilihan pada pasangan capres tertentu sebagai langkah yang tepat. Meski tuduhan di media besar itu mengutip salah satu tokoh parpol besar juga, Polda harus dapat menjelaskan dan membuktikannya.
“Saya yakin netralitas Polri terjaga dengan baik. Tugas aparat dalam momentum politik ini sangat berat, janganlah diganggu dengan tuduhan-tuduhan yang malah memperkeruh suasana,” tegas Nasrullah.
Jatim kata Nasrullah adalah provinsi paling dinamis. Selain jumlah pemilih terbanyak setelah Jawa Barat, isu-isu sensitif sering muncul dari provinsi ini. Tokoh-tokoh sentral Jatim yang menjadi opinion leader nasional juga memiliki andil menghangatnya suhu politik.
Jatim juga merupakan provinsi dengan fragmentasi masyarakat yang paling majemuk. Budayanya terbentang dari kultur Mataraman, Tapal Kuda, Madura, hingga Arek. Hal ini mempengaruhi cara berkomunikasi yang lebih low-context. Gaya komunikasi ini dinilainya lebih terbuka, blak-blakan, tetapi cenderung tidak menyimpan dendam.
“Budaya semacam itu menjadi modal sosial yang baik. Pisuhan dan gojlokan, misalnya, tidak selalu berkonotasi negatif malah sebagai simbol keakraban,” ungkap Nasrullah.
Dalam kontestasi pilpres kali ini, ada dua nama calon yang beririsan kuat dengan Jawa Timur yakni Mahfud MD cawapres pasangan capres Ganjar Pranowo dan Muhaimin Iskandar cawapres pasangan capres Anies Baswedan. Keduanya memiliki pengaruh kuat di basis pemilih Jatim. Di sisi lain kubu Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, juga mengklaim memiliki dukungan dari kelompok ulama NU dan Muhammadiyah Jawa Timur.
Salain itu, dinamika Jatim juga diwarnai oleh diberhentikannya Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar oleh PBNU. Tak pelak publik menilainya penuh dengan aroma politik.
Untuk menjaga agar pilpres tetap kondusif, Nasrullah menyarankan agar aparat tidak perlu terlalu represif terhadap ungkapan-ungkapan spontan masyarakat, termasuk di media sosial. Memonitor potensi konflik perlu, tetapi tidak perlu berlebihan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni