PWMU.CO – Tafsir favorit Kiai Dahlan yang menjadi bacaan inspirasi pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, itu ternyata bukan dari tanah Arab.
Hal tersebut disampaikan Dr Syamsuddin MA saat menjadi pemateri Capacity Building Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sidoarjo, Sabtu (13/1/24). Membawakan materi “Internalisasi Nilai-Nilai Islam Berkemajuan”, Ustadz Syamsuddin mengawalinya dengan mengangkat Manhaj Islam Berkemajuan.
Menurutnya, Manhaj berkemajuan sudah ada ketika Muhammadiyah didirikan dan termasuk menjadi organisasi Islam modernis. “Kenapa termasuk menjadi organisasi berkemajuan? Karena bacaan favorit Kiai Dahlan berasal dari tokoh-tokoh berkemajuan,” ujarnya.
Tafsir Favorit
Kiai asal Bangil, Pasuruan, itu mengatakan, bacaan inspirasi Ahmad Dahlan bukan dari Arabia, tapi dari Mesir. Karena di sana ada tokoh-tokoh berkemajuan, mulai dari Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, sampai Rasyid Ridha.
“Bacaan favorit Ahmad Dahlan adalah Tafsir al-Manar, yang merupakan tafsir karya Rasyid Ridha bersama gurunya Muhammad Abduh. Tafsir al-Manar dianggap tafsir kontroversi, karena dianggap tidak sesuai. Tapi menjadi bacaan Ahmad Dahlan, dan beliau tidak alergi apalagi menolaknya,” jelasnya.
Ustadz Syamsuddin mengatakan, tafsir al-Manar adalah tafsir terlarang di Arab, karena tidak diperbolehkan. Padahal dulu menjadi tafsir dan bacaan favorit Ahmad Dahlan. “Maka menarik melihat pemikian Kiai Dahlan, seperti yang ditulis Mukti Ali, guru besar perbandingan agama pertama di Indonesia. Dalam bukunya dia menulis ‘Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal’,” terangnya.
Dalam bukunya, Mukti Ali yang Muhammadiyah itu membandingkan, Ahmad Dahlan meski tidak melahirkan buku tapi ormas modern yang sampai saat ini sudah luar biasa. “Bahkan PWM Jatim sudah mau membeli gereja di Spanyol,” tuturnya.
Ustadz Syamsuddin menyampaikan, persoalan keagaamaan di Muhammadiyah ditangani Majelis Tarjih, yang keberadaannya ada sekitar 15 tahun usai Muhammadiyah berdiri. “Muhammadiyah adalah ormas keagamaan yang didirikan para ulama, yang membawa pikiran yang tercerahkan. Tjokroaminoto meski bukan ulama, mempunyai pikiran yang maju soal agama. Dia tahunya ilmu agama dari ulama India, yang menulis buku dalam bahasa Inggris,” jelasnya.
Murid Tjokroaminoto, lanjut dia, juga beragam, mulai dari Soekarno, Kartosoewirjo, dan Semaun, ketiganya pernah diundang Ahmad Dahlan untuk berbicara di forum Muhammadiyah. Meski Muhammadiyah merupakan ormas keagamaan, praktik berkemajuan sudah dihadirkan meski belum ada Majelis Tarjih.
“Seperti membetulkan shaf masjid, meski saat itu ada reaksi dari masyarakat seperti perobohan masjid Kiai Dahlan. Tapi ada bobot berkemajuan di situ,” paparnya.
Khotbah Bahasa Bumi Putera
Termasuk, sambungnya, ketika memutuskan khotbah Jumat dalam bahasa bumi putera, yang digagas pertama oleh Muhammadiyah. Mengapa menggunakan bahasa bumi putera, karena ada fungsi pencerahan. “Pertama kali yang menyampaikan khotbah Jumat dengan bahasa bumi putera adalah Muhammadiyah, dan itu dianggap bid’ah karena bertentangan dengan kitab kuning,” ungkap Syamsuddin.
Seperti yang disampaikan dalam kitab kuning, sebaik-baiknya khutbah Jumat adalah dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah bahasa al-Quran dan dianggap sakral. “Termasuk shalat id di tempat terbuka dan ceramah tarawih yang mengawali adalah Muhammadiyah,” jelasnya.
Menurut Kiai Dahlan, bahwa uang infak untuk masjid boleh dipakai untuk kepentingan sabilillah dan lainnya. “Kalau masjidnya sudah bagus dan sempurna, maka bisa dipakai untuk sabilillah, bea siswa, atau seperti Masjid Jogokariyan yang dipinjamkan pada pedagang pasar yang butuh sehari Rp 300-500 ribu, dipinjamkan tanpa bunga untuk menyelamatkan dari bank titil,” kata Syamsuddin.
Syamsuddin mengatakan, manhaj Islam Berkemajuan digunakan agar orang tidak mundur dalam beragama. “Bukan agamanya yang mundur, tapi pemahaman agamanya yang mundur,” tuturnya. (*)
Penulis/Editor Darul Setiawan.