PWMU.CO – Tiga kerobohan sedang berlangsung dalam bangsa Indonesia saat ini dipaparkan Din Syamsuddin dalam acara Tanwir Nasyiatul Aisyiyah di Pontianak , Jumat (12/1/2024).
Menurut Din Syamsuddin, tiga kerobohan itu pertama, robohnya surau (tempat ibadah), kedua robohnya lapau (warung), dan ketiga, robohnya dangau (tempat peristirahatan).
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 itu menjelaskan, robohnya surau dan lampau mengekspos tantangan serius yang dihadapi umat Islam dalam melestarikan nilai-nilai tradisional dan keberlanjutan lembaga kemasyarakatan.
”Hilangnya keberadaan surau sebagai gambaran lembaga pendidikan dan kemasyarakatan mengakibatkan hilangnya sumber kearifan lokal dan lahirnya ulama,” katanya.
Robohnya lapau atau pusat perputaran ekonomi, kata Din, menunjukkan pergeseran dalam pusat bisnis umat Islam. Pada masa lalu dikuasai oleh para santri namun kini tergantikan oleh pasar-pasar modern.
Kedua tantangan ini mengharuskan adanya perubahan besar dalam pola pikir umat Islam. Untuk itu, Din menekankan perlunya adaptasi dan upaya kolektif untuk mempertahankan identitas dan keberlanjutan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang kian dinamis.
”Ketiga yang melanda umat Islam yaitu robohnya dangau kita. Dangau ini sebuah kiasan, biasanya ada di rumah dan menggambarkan robohnya keluarga kita. Robohnya keluarga umat. Bukan karena perpisahan dan perceraian yang sekarang angkanya meningkat, tapi robohnya dangau kita, robohnya keluarga umat karena keluarga tidak berfungsi sebagai lembaga pendidikan,” ungkap Din.
Dia lantas mengajak peserta Tanwir untuk melakukan refleksi dan mendiskusikan ide-ide konstruktif guna memperkuat keluarga sebagai pilar utama masyarakat, sejalan dengan ajaran Islam Wasathiyah.
Ia juga menegaskan ketangguhan keluarga sangat dibutuhkan dalam membentuk generasi bangsa di masa mendatang. Terlebih daya tahan keluarga muslim, menurut Din perlu diperkuat dengan nilai-nilai Islam washatiyah agar tidak mudah terpengaruh ancaman arus globalisasi.
“Dengan robohnya dangau kita, robohnya keluarga kita, maka saya sangat-sangat setuju dan memberi apresiasi Nasyiatul Aisyiyah menggerakkan adanya keluarga tangguh. Agar keluarga lebih mampu mempertahankan diri terhadap tantangan arus globalisasi arus liberalisasi dan kemudian ancaman persebaran narkoba, persebaran pikiran liberal dan maraknya LGBT,” tegas Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020 ini.
“Maka daya tahan keluarga muslim, keluarga Indonesia adalah penting dan mendesak. Perlu adanya mekanisme pertahanan diri. Keluarga harus menjadi perisai terhadap semua tantangan dan secara khusus bahwa ada skenario dan rekayasa yang sedang berjalan yang ingin melemahkan Islam dengan merusak generasi mudanya. Dan salah satu faktor mudahnya rusak generasi muda dengan merusak fungsi keluarga,” sambungnya.
Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini pun berharap istilah ‘Keluarga Muda Tangguh’ yang diangkat Nasyiatul Aisyiyah ini jangan menjadi slogan saja, melainkan harus ada design operasionalnya di masa depan.
“Inilah saya kira dasar keluarga muda tangguh menjadi relevan. Karena robohnya surau, robohnya lapau dan robohnya dangau kita itu, maka keluarga tangguh yang berdaya tahan, yang berpegang kepada prinsip-prinsip islami dan keluarga yang berdasarkan pilar-pilar yang kuat,” tandasnya.
Penulis Isnatul Chasanah Editor Sugeng Purwanto