PWMU.CO – Panca jiwa pondok pesantren harus dimiliki oleh santri disampaikan pembicara Fathin Masyhud Lc MHI dalam pengajian bulanan Pondok Pesantren al-Fattah Buduran, Ahad (14/1/2024).
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan, panca jiwa pondok adalah keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah, dan bebas.
Dia menjelaskan kehidupan di pondok seperti Pondok Modern Darussalam Gontor didasarkan pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana panca jiwa.
Lantas dia menguraikan maknanya. Pertama, keikhlasan. Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tetapi niat karena Allah.
”Kiai ikhlas mendidik dan para pembantu kiai ikhlas membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik,” katanya.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kiai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.
Kedua, kesederhanaan. Kehidupan di pondok diliputi oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti pasif atau nrimo, tidak juga berarti miskin.
”Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup,” ujarnya.
Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Ketiga, berdikari. Kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya.
”Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain,” tuturnya.
Keempat, ukhuwwah islamiyah. Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah Islamiyah.
”Ukhuwah islamiyah itu bukan saja selama mereka di pondok, tetapi juga memengaruhi persatuan umat dalam masyarakat setelah mereka terjun di dalamnya,” tandasnya.
Kelima, jiwa bebas. Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bebas dari pengaruh negatif dari luar, masyarakat.
”Jiwa bebas ini menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan,” katanya.
Maka kebebasan ini adalah bebas di dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab; baik di dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri, maupun dalam kehidupan masyarakat.
”Panca jiwa ini meliputi suasana kehidupan pondok pesantren yang akan dibawa santri sebagai bekal utama di dalam kehidupannya bermasyarakat,” kata Fathin Masyhud.
Dalam pengajian dengan tema Pesantren dan Islam rahmatan lil aalamiin ini dia mengutip surat al-Anbiya’: 107 sebagai pijakan menjadi seorang muslim.
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Untuk menjelaskan siapakah muslim itu, dia menukil beberapa hadits yang menjelaskan kriteria seorang muslim
خيركم من أطعم الطعام وردَّ السلام -صحيح الجامع
Terbaik di antara kalian orang yang memberi makan dan menebar salam.
(المسلم من سلِم المسلمون من لسانه ويده، والمهاجر من هجَر ما نهى الله عنه))؛ متفق عليه
Muslim itu yang orang merasa aman dari gangguan lisan dan tangannya.
Penulis Nur Djamilah Editor Sugeng Purwanto