Kisah Kiai, Pendeta, dan Doa Anjing; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
PWMU.CO – Konon terjalin persahabatan yang baik antara seorang kiai dan seorang pendeta di daerah pelosok Papua. Kiai itu bernama Abdullah seorang perantauan dari Jawa dan seorang pendeta bernama Lukas yang merupakan penduduk asli Papua.
Mereka hidup bertetangga dan saling tolong menolong. Lukas adalah pendeta yang taat dalam menjalankan agamanya. Begitu pula Abdullah yang mengelola masjid beberapa puluh meter dari rumahnya.
Setiap Kiai Abdulloh mau ke masjid pasti melewati rumah Pendeta Lukas. Pendeta Lukas selalu menyapa dan tersenyum kepada kiyai Abdullah. Pendeta Lukas hanya bisa berbahasa Indonesia, karenanya Kiai Abdullah meskipun fasih berbahasa Jawa ketika berkomunikasi dengan Pendeta Lukas memakai bahasa Indonesia.
Suatu hari Pendeta Lukas meminta tolong kepada Kiai Abdullah untuk mengobati anjingnya yang sedang sakit. Sudah beberapa hari anjing Pendeta Lukas hanya tergeletak tanpa daya di teras rumahnya. Maklumlah di desa mereka tinggal tidak ada dokter hewan. Kiai Abdullah sebenarnya juga bigung harus melakukan apa, tetapi karena merasa tidak enak dengan Pendeta Lukas maka ia tetap datang untuk melihat anjingnya.
Karena bukan dokter hewan Kiai Abdullah mengelus-elus anjing tersebut sembari mengatakan sebuah kalimat dalam bahasa Jawa: “Su asu, lek kowe urip yo ndang uripo, lek kowe mati yo ndang matio.” Artinya, “wahai anjing, kalau kamu memang mau mati ya mati saja, kalau kamu mau hidup ya hiduplah.”
Kalimat ini dilafalkan Kiai Abdullah beberapa kali, sampai Pendeta Lukas hafal. Sungguh ajaib, anjing Pendeta Lukas tiba-tiba berdiri dan berlari. Pendeta Lukas amat senang anjingnya bisa sembuh karena dijampi-jampi Kiai Abdullah. Sementara Kiai Abdulloh termenung keheranan.
Baca sambungan di halaman 2: Doa Aning untuk Kiai