Doa Aning untuk Kiai
Suatu saat dalam beberapa hari Kiai Abdullah tidak tampak lewat depan rumah Pendeta Lukas untuk ke masjid. Pendeta Lukas bertanya kepada para tetangga ke mana gerangan Kiai Abdullah? Ternyata beliau sedang sakit.
Maka segeralah Pendeta Lukas menjenguk Kiai Abdullah yang kelihatan lemah dalam balutan selimut. Kiai Abdullah hanya mengangguk ketika diajak bicara. Tiba-tiba Pendeta Lukas mengingat ‘mantra’yang dilafalkan Kiai Abdullah Ketika mengobati anjingnya.
Segera Pendeta Lukas mendekati Kiai Abdullah, mengelus-elus punggungnya sambil berkata: “Su asu, lek kowe urip yo ndang uripo, lek kowe mati yo ndang matio.” Spontan Kiai Abdulloh bangun dan tertawa terbahak-bahak seraya berkata, “Ya Allah kok aku dadi kiai asu ngene (ya Allah kok saya jadi kiai anjing gini),”sambil terus terkekeh.
Melihat Kiai Abdullah bangun dan tertawa, Pendeta Lukas senang sekali. Ia pun ikut tertawa. Mantra yang dia hafalkan ternyata manjur menyembuhkan orang. Pendeta Lukas tidak tahu apa artinya kalimat tersebut. Andai dia tahu mungkin dia akan tertawa terkencing-kencing.
Cerita ini saya dengar dari mulut-ke mulut entah dari mana dan siapa yang membikin cerita ini. Tidak jelas sumbernya. Saya yakin ini cerita israiliyat atau cerita imajiner belaka. Cerita guyon semacam ini biasanya diambil hikmahnya untuk menunjukkan nilai tertentu.
Nilai dalam cerita ini merupakan ajaran toleransi, bahwa meski berbeda keyakinan tetap bisa hidup rukun dan damai. Saling membantu, tolong menolong dalam aspek sosial, dan saling menghormati dalam aspek keyakinan agama.
Dalam beberapa kali kajian, cerita ini saya sampaikan untuk sekadar guyon dan menghidupkan suasana sambil memberikan ajaran toleransi yang otentik. Toleransi yang berjalan alami di tengah kehidupan majemuk masyarakat. Bukan toleransi yang dipaksakan lewat kebijakan politik yang sering kali sesuai pemahaman bahkan bisa juga selera pemangku kebijakan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni