Kenapa Harus Curang? Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku termasuk Ulama Kritis Berjejak Manis
PWMU.CO – Perilaku curang, bisa dibilang, ada di semua aspek kehidupan. Pelaku kecurangan ada di mana-mana. Ada dunia bisnis, di bidang pendidikan, di ranah hukum, di wilayah politik, dan lain-lain.
Semua yang berbuat curang akan menuai celaka. Ancaman tentang ini langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Mari, cermati pesan Allah di al-Muthaffifin 1-6 ini: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?”
Ayat di atas turun untuk menegur secara keras perilaku curang. Bahwa, ketika Rasulullah Saw sampai di Madinah, ternyata orang-orang di kota itu termasuk yang paling curang dalam takaran dan timbangan.
Berdasarkan HR Muslim, bahwa di sebuah kesempatan, Nabi Saw bersama sejumlah Sahabat pergi ke pasar. Saat sampai ke seorang penjual bahan makanan, Nabi Saw lalu memasukkan tangannya ke gundukan bahan tersebut. Didapatilah, bahwa di bagian tengahnya dalam keadaan basah.
“Apa ini wahai penjual,” tanya Nabi SAW.
“Bagian ini terkena air hujan, wahai Rasulullah,” jawab si penjual.
“Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas, agar orang yang akan membeli dapat melihatnya,” tanya Nabi SAW lagi.
“Barang siapa yang berbuat curang kepada kami, maka ia bukan bagian dari golongan kami,” demikian peringatan keras dari Nabi SAW.
Allah lalu menurunkan tiga ayat pertama dari al-Muthaffifin sebagai ancaman kepada orang-orang yang curang dalam menimbang. Setelah ayat itu turun, orang-orang Madinah berubah, yaitu termasuk yang jujur dalam menimbang dan menakar.
Madyan, Jangan Lupakan!
Jauh sebelum kisah di Madinah di atas, lihatlah perilaku Kaum Madyan. Kepada mereka telah diutus Nabi Syu’aib As untuk menyampaikan Ajaran Allah termasuk larangan berbuat curang. Ternyata, kaum itu tetap saja melakukan kecurangan dalam berdagang. Mereka mengurangi timbangan dan takaran dari yang semestinya, sehingga sangat merugikan pembeli. Padahal, perintah Allah jelas dan tegas di ayat ini: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu” (ar-Rahman 9).
Walau sudah diperingatkan berkali-kali untuk tidak curang, Kaum Madyan tetap pada perilakunya. Lalu, apa yang didapat kaum pembangkang itu?
Terjadilah sesuatu yang tak biasa. Di kawasan itu, udara sangat panas tak tertanggungkan. Panas membakar kulit dan itu tidak dapat disiasati dengan berteduh di bawah atap rumah atau pohon-pohon, misalnya. Rasa dahaga tidak dapat dihilangkan dengan minum air.
Di saat mereka panik, berlari-lari ke sana ke mari mencari perlindungan dari panas yang membakar, tiba-tiba terlihat gumpalan awan yang tebal. Berlarilah mereka, ingin berteduh di bawahnya. Namun, setelah mereka berada di bawah awan hitam itu dalam posisi berjejal-jejal, jatuhlah ke kepala mereka percikan api dari awan hitam itu diiringi oleh suara petir dan gemuruh ledakan dahsyat. Sementara, pada saat yang sama, terjadi gempa hebat di bumi yang mereka pijak. Maka, musnah tak berbekas-lah kaum yang mendustakan Utusan Allah itu.
Allah menurunkan azab seperti yang tergambar di ayat ini: “Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka” (al-A’raf 91). Itulah azab bagi orang-orang yang melakukan kecurangan.
Baca sambungan di halaman 2: Pangkal Bencana