Penyuap Ulet
Thawus dan Wahab kini sudah berada di luar majelis. Wahab berkata kepada Thawus, “Demi Allah, sebenarnya kita tidak perlu membuat dia marah kepada kita. Apa salahnya bila engkau menerima pakaian tadi kemudian engkau jual dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin”.
“Apa yang engkau katakan memang benar jika saya tidak mengkhawatirkan para ulama setelah kita berkata, ‘Kami akan mengambil seperti Thawus bin Kaisan (yakni menerima pemberian penguasa)’, akan tetapi mereka tidak melakukan seperti yang engkau ucapkan yakni menjual dan menyedekahkannya kepada fakir miskin,” kata Thawus.
Upaya Muhammad bin Yusuf menjatuhkan kehormatan Thawus dengan menyuapnya melalui barang-barang mewah tetap dilanjutkan. Kali ini Muhammad bin Yusuf ingin memberikan barang yang 1000 kali lipat lebih mahal daripada pemberian sebelumnya.
Muhammad bin Yusuf lalu menyiapkan hartanya dan mengutus seorang kepercayaannya untuk membawa satu pundi-pundi berisi 700 dinar emas. “Berikan bingkisan ini kepada Thawus,” kata dia.
Mengingat pemberiaan yang pertama gagal, Muhammad bin Yusuf meminta agar pemberian kali ini harus sukses. “Harus diusahakan supaya dia menerimanya.” perintah Si Gubernur.
Si penguasa-pun tak segan akan memberikan hadiah kepada si utusan jika berhasil membujuk Thawus untuk menerima pemberian itu. “Bila engkau berhasil, saya sediakan untukmu hadiah yang berharga,” kata Muhammad bin Yusuf.
Siasat Gagal
Dengan yakin akan menerima “penghargaan”, utusan itu langsung berangkat membawa hadiah menuju kediaman Thawus. Ekspresi riang tampak di wajahnya.
“Wahai Tuan, ini ada nafkah dari Gubernur untuk engkau,“ kata si utusan.
“Maaf, saya tidak memerlukan itu,” tolak Thawus.
“Coba lihat dulu Tuan, siapa tahu satu saat engkau membutuhkannya,” rayu si utusan.
Segala bujuk-rayu tak mempan. Akhirnya, utusan itu mencari kesempatan Thawus lengah. Lalu, secara diam-diam dia taruh pundi-pundi itu di salah satu sudut rumah Thawus. Setelah itu diapun kembali dan melapor kepada Sang Gubernur. “Wahai Gubernur, Thawus telah menerima pundi-pundi itu,” kata si utusan.
Si Gubernur berpikir bahwa Thawus pasti telah membelanjakannya untuk keperluan macam-macam dan habis. Maka, beberapa hari setelah itu, sang gubernur mengutus dua orang dan diikuti pula oleh utusan yang telah membawakan hadiah untuk Thawus. Tujuannya adalah mengambil kembali hadiah yang tempo hari diberikan kepada Thawus. Ini, cara licik untuk mempermalukan Thawus.
Agar tidak ketahuan kelicikannya, sang gubernur meminta utusannya untuk berkata, bahwa “Utusan gubernur yang terdahulu keliru menyerahkan harta itu kepada Thawus. Sebenarnya harta itu untuk orang lain.” Jadi, tugas mereka adalah menarik kembali hadiah itu dari Thawus dan lalu menyampaikannya kepada orang yang benar.
“Saya tidak menerima apa-apa dari gubernur. Maka, apa yang harus saya kembalikan,” tukas Thawus.
Ketika kedua utusan itu bersikeras, Thawus menoleh kepada utusan gubernur yang pertama dan bertanya, “Benarkah saya telah menerima sesuatu darimu?”
“Tidak, tetapi saya menaruh uang itu di lubang dinding tanpa sepengetahuan engkau,” jawab utusan yang ditanya itu dengan gemetar karena takut.
“Coba lihat di tempat tersebut,” seru Thawus.
Kedua utusan itu memeriksa tempat yang dimaksud dan ternyata mereka mendapatkan pundi-pundi berisi uang itu masih utuh seperti semula. Hadiah itu lalu diambil dan dikembalikan kepada gubernur.
Sungguh, Thawus–yang wafat pada tahun 100 H–telah memeragakan dengan indah, setidaknya dalam dua hal. Pertama, berani berkata-kata yang hak di depan penguasa zalim. Kadua, tegas menolak pemberian penguasa yang kental terasa sebagai suap untuk membungkam kebenaran. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni