Talaqqi Al-Fatihah
Di sinilah Ihdal meluruskan cara membaca awal ayat kedua, “Ustadz masih dengar tawalluth (memantul). Membacanya bukan alehamdulillah tapi al-hamdulillah.” Para siswa pun mencoba membaca ayat kedua bersama hingga benar.
Kemudian dia meluruskan cara membaca akhir ayat kedua, ‘alamin. “Bedakan alif dan ain! Alif itu dibaca ringan, tidak dalam,” tuturnya. Para siswa kembali membaca sampai tepat seperti yang dia contohkan.
Sampai ayat ketiga, Ihdal kembali meluruskan, tepatnya pada kata ar-Rahman. “Ra bacanya agak sulit ya. Ketika lidah ke atas, rasakan ada getaran 3-4 kali. Itu yang benar,” ungkapnya diikuti para peserta membaca seperti contohnya.
Pada ayat keenam, ihdinas-siraatal-mustaqiim, Ihdal menjelaskan, “Dalam kaidah Jazariah, ada begini bunyinya, kalau kasrah meringis, kalau dhammah mencucu, kalau fathah membuka.”
Lanjut di ayat ketujuh, Ihdal menegaskan cara membaca an’amta. “Ada alif, ada ain. Yang pertama alif, yang kedua ain,” terangnya lalu para siswa mengulangi membaca ayat ketujuh dengan penyebutan alif dan ain yang benar.
Akhirnya Ihdal menutup talaqqi-nya dengan berpesan, “Itu diamalkan agar bisa menjadi jariah bagi kita semua. Al-Fatihah jangan dilupakan sesuai talaqqi barusan!”
“Kalau ibu-ibu punya anak, jangan sampai baca al-Quran terutama al-Fatihah diajari orang lain. Jadilah ibu yang pertama mengajari anaknya. Karena al-Fatihah dibaca setiap hari dalam shalat, sebanyak lima kali,”pesannya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni