Penerapan Jurnalisme Profetik
Dalam FGD mengemuka gugatan konsep jurnalisme profetik. Muhammad Subarkah, jurnalis senior yang menjadi salah satu penulis mempertanyakan konsep Parni Hadi tentang jurnalisme profetik yang sebenarnya bukan hal baru.
“Jauh sebelum itu, tahun 1985 Prof Kuntowijoyo telah mengenalkan tiga hal yang menjadi etika profetik,” kata Subarkah. Tiga dimensi itu mengacu tafsir Ali Imran 112, yakni dimensi humanisasi (amar makruf/memanusiakan), liberasi (nahi mungkar/ membebaskan), dan transedensi (ibadah).
Hal senada diamini Arif Permadi dan Wakhudin, dua penulis lain. Pers Islam, menurut mereka telah jauh tertinggal dan sudah saatnya menerapkan jurnalisme profetik sejak seorang jurnalis mau berangkat meliput.
“Sejak bangun tidur, niat seorang jurnalis adalah ibadah,” kata Arif yang mantan jurnalis dan dosen Universitas Muhammadiyah Bandung ini.
Penulis perempuan Putri Aisyiyah melengkapi konsep jurnalisme profetik dari perspektif perempuan. Peneliti dan dosen Universitas Negeri Surabaya ini mengemukakan bahwa jurnalisme profetik tidak hanya ada dalam praktik liputan, melainkan harus menjadi corporate culture.
Ketua MPI Prof Mukhlas menganggap tambahan perspektif Islam Berkemajuan sebagai perspektif baru dalam jurnalistik.
“Bukan berarti yang menjadi objek berita terkait konten keislaman saja,” kata Mukhlas yang juga Rektor Universitas Ahmad Dahlan. Lebih dari itu, jurnalisme profetik perspektif Islam berkemajuan mendorong informasi konten berorientasi masa depan, berbobot, dan menghasilkan wawasan mencerahkan.
Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad berharap perumusan konsep jurnalisme profetik perspektif Islam Berkemajuan ini perlu dilakukan lebih serius.
“Sebagai ciri khas jurnalisme yang bersifat kenabian, tentu saja diperkuat dengan satu perspektif kemuhammadiyahan, yaitu Islam berkemajuan, tutur Dadang. (*)
Penulis Nasrullah Editor Mohammad Nurfatoni