Tentara Beretika
Kepatuhannya menghentikan perang gerilya pada waktu posisi Indonesia di atas angin cermin pemimpin yang menjunjung etika bernegara. Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berhasil meyakinkan untuk menghentikan perang gerilya sebagai salah satu syarat Konferensi Meja Bundar (KMB).
Delegasi Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta membayar kepercayaan masyarakat termasuk pejuang bersenjata yang bersedia menghentikan perang gerilya dengan pengakuan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Rekam jejak pribadi dan kepemimpinannya telah banyak ditulis beragam kalangan, termasuk oleh orang-orang terdekatnya. Abdul Haris Nasution, TB Simatupang, dan Tjokropranolo merupakan mantan ajudan dan orang dekat yang mempersembahkan tulisan untuknya.
“Setelah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin digantikan Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948 posisi Soedirman dikembalikan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.”
Tidak ketinggalan sejumlah wartawan juga novelis ikut menulis tentang kehidupan serta perjuangannya sebagai pemimpin bangsa. Dari sumber terpercaya, salah satunya majalah Tempo yang pernah mengulasnya dalam edisi khusus menulis jika posisi Panglima Besar dan tentara tidak lepas dari intrik politik. Posisi sulit sempat terjadi pada masa Kabinet Sjahrir dan Amir Sjarifudin.
Dengan Sjahrir ketegangan berakhir baik, tetapi dengan Amir Sjarifudin tidak. Posisinya sempat diturunkan oleh Amir dan digantikan Komodor Suryadarma. Kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi (rera) tentara pada masa Amir Sjarifuddin juga membuat hubungan memburuk.
Setelah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin digantikan Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948 posisi Soedirman dikembalikan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.
Baca sambungan di halaman 3: Kata-Kata Panglima