KH Hasyim Asy’ari: Ulama Besar dengan Karya-Karya Tulis yang Kritis; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sepuluh judul lainnya
PWMU.CO – Hari ini, Rabu 31 Januari 2024, NU tepat berusia 98 tahun—atau 101 tahun jika mengikuti kelahirannya sesuai kalender Hijriah, 16 Rajab 1344. Selamat, semoga NU teguh mengemban spirit yang dimiliki pendirinya. Mengapa?
Jika kita ingin melihat warna dan arah gerakan dari sebuah organisasi, maka lihatlah siapa pendirinya. Hal ini, karena setiap organisasi tidak dapat dipisahkan dari pendirinya (Hambali, 2013). Untuk itu, sejenak kita baca kembali setidaknya sebagian jejak kepejuangan pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.
Di negeri ini, Hasyim Asy’ari adalah salah satu teladan terkemuka. Dia, pada 1926, mendirikan NU. Dia pencetus Resolusi Jihad, yang isinya berperan signifikan dalam memperbesar semangat bangsa Indonesia pada Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Sebagai ulama, Hasyim Asy’ari aktif menulis. Jenis tulisannya, dari artikel sampai buku. Adapun dalam format buku, jumlah karyanya mendekati dua puluh judul.
Hasyim Asy’ari memiliki tradisi kepenulisan yang kuat. Lelaki itu merupakan sosok yang gemar membeli buku, membaca dan menuliskannya kembali. Sejumlah disiplin keislaman di bidang akidah, akhlak, hingga ilmu fiqih, dia tulis dengan serius. Lebih jauh, tema yang dia tulis tidak sebatas bidang ilmu keagamaan tapi juga meliputi pertanahan dan pertanian, politik internasional, kolonialisme serta lainnya (Sanusi, 2013: 222 dan 226).
Dalam amatan Dr. Kholili Hasib, dosen Universitas Islam Internasional Darullughah Wadda’wah – Bangil, semua karya Hasyim Asy’ari terus dibaca masyarakat sampai sekarang. Sementara, sebagai media pembelajaran, ada beberapa yang masih dipakai.
“Sepengetahuan saya, ada beberapa karya Hasyim Asy’ari yang masih dipakai di pesantren. Kitab Risalah Ahlussunnah, dipakai sebagai mata kuliah di Ma’had ‘Aly Tebuireng. Dalam beberapa pengajian di Jawa Timur juga dikaji. Lalu, kitab Adabul Alim wal Muta’allim dipelajari di Pesantren Sidogiri, Pesantren Tebuireng, Pesantren Attaqwa Depok, dan di beberapa madrasah diniyyah,” tutur lulusan S3 Unida Gontor ini.
Baca sambungan dii Halaman 2: Figur Kritis