Filosofi Haji dan Umrah
Oleh Dr HM Aslich Maulana SH MAg *)
PWMU.CO – Ibadah haji dan umrah mengandung filsafat hidup yang mendalam. Ada makna-makna penting pada setiap syariat yang terdapat di dalamnya. Filosofi atau hakekat haji dan umrah itu perlu kita ketahui agar ibadah tersebut membekas dan membawa dampak kebaikan dalam kehidupan.
Empat Makna Labbaik
Filosofi pertama terkandung dalam kalimat talbiyah, yang diucapkan ketika calon jamaah haji atau umrah berpakaian ihram dan mengambil niat di miqat.
(Baca: Mengharukan! Di Madinah, Calon Jamaah Haji Sepuh Ini Digendong Rektor UMSurabaya dari Pesawat)
Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan nikmata laka wal mulk laa syarika lak. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.
Jika kita cermati, ada empat kata “Labbaik” yang terdapat dalam kalimat talbiyah. Semuanya mengandung filosofi hidup. Labbaik yang pertama, bermakna ya Allah saya sanggup menjalankan segala apa yang Engkau perintahkan. Kemudian Labbaik yang kedua, bermakna ya Allah saya sanggup meninggalkan segala yang Engkau larang.
Labbaik yang ketiga, ya Allah saya sanggup melaksanakan tugas-tugas sosial di tengah-tengah kehidupan. Seperti Ibrahim yang membangun ka’bah bersama dengan anaknya, Ismail.
Jadi ketika pulang dari umrah, pulang dari haji, kita sanggup melaksanakan tugas-tugas sosial di tengah-tengah kehidupan. Seperti Nabi Ibrahim as yang membangun ka’bah, mungkin di kampung halaman kita ada pembangunan masjid, pembangunan mushala, panti asuhan, dan sebagainya, maka tugas sosial ini yang harus kita emban.
(Baca juga: Mengharukan! Di Madinah, Calon Jamaah Haji Sepuh Ini Digendong Rektor UMSurabaya dari Pesawat)
Labbaik yang keempat, bermakna kami siap ya Allah jika sewaktu-waktu Engkau panggil. Artinya umrah dan haji itu ibaratnya adalah panggilan kematian. Dan kita siap, kapanpun dan di mana pun, jika Allah telah memanggil.
Kita kumandangkan kalimat talbiyah sepanjang perjalanan dari tempat miqat menuju Mekah. Kalimat talbiyah adalah bentuk perjanjian kita di hadapan Allah untuk menjalankan segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, sanggup melaksanakan tugas sosial kemasyarakatan, dan sewaktu-waktu dipanggil oleh Allah, kita sudah siap.
Sebelum berpakaian ihram, kita disunahkan mandi. Saat mandi itulah kita sadar bahwa nanti akan dimandikan saat menjadi mayat. Tatkala menggunakan kain ihram, kita pun harus ingat bahwa nanti akan dibungkus kain kafan.
Saat melakukan shalat sunah dua rakaat, kita juga harus ingat bahwa nanti saat wafat akan dishalati. Dan saat kita diangkut dari tempat miqat ke Mekkah, itu maknanya kita juga nanti akan diangkut ke tempat pemakaman. Itulah kenapa tempat pemakaman yang akan kita tempati selalu menghadap ke arah Ka’bah.
Miqat, Kapan dan di Mana Memulai Hidup
Miqat itu ada dua macam, yaitu miqat zamani (waktu, yaitu bulan Syawal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah) dan miqat makani (tempat, seperti Biir Ali atau Qarnun Manazil). Maknanya, dalam hidup ini ada miqat-nya, ada start-nya, baik menyangkut waktu atau tempat.
(Baca juga: Ka’bah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Seperti seorang yang berjualan di Jakarta tapi tak pernah sukses. Maka dia pindah ke tempat lain untuk mencari peluang sukess. Jadi di situ miqat makani-nya saat dia mulai di tempat pindahan itu. Soal waktu juga demikian. Sukses hidup seorang itu terkait dengan waktu. Contohnya apabila umur 40 tahun belum sukses, biasanya sudah sulit.
Miqat itu artinya kapan dan di mana kita harus memulai dan mengakhiri. Kesuksesan seseorang akan dibatasi oleh waktu atau tempat. Seperti pegawai negeri yang ditandai dengan masa pengangkatan dan masa pensiunan. Kalau kita melakukan amalan haji tanggal 15 Dzulhijjah ya tidak sah, karena sudah keluar dari miqat zamani-nya. Seperti kita yang mulai merintis usaha di usia 60 tahun. Mungkin saja bisa, tapi peluang suksesnya kecil karena usia sukses rata-rata seseorang itu di usia 40 tahun.
Perjalanan Spriritual Thawaf dan Dimensi Keduniaan Sai
Ketika hendak thawaf, kita harus memulainya dari rukun (sudut) Hajar Aswad. Di situ dulu dipasang garis coklat menyudut, tetapi sekarang garisnya sudah dihilangkan dan diganti dengan tanda lampu. Di situlah tempat start untuk mengelilingi Ka’bah. Dan garis itu mengandung makna sebagi garis kehidupan.
Bahwa kita ini dari Allah dan akhirnya nanti akan kembali kepada-Nya. Oleh karena itu start-nya orang thawaf itu dari Hajar Aswad dan berakhirnya juga di Hajar Aswad. Apa filosofinya? Seperti kalimat innalillahi wa inna ilahi rajiun, kita ini asalnya dari Allah dan pada akhirnya kita kembali kepada Allah. Itulah di antara makna yang terkandung di dalam perjalanan umrah.
Thawaf itu menggambarkan sebuah perjalanan pendakian menuju ke langit tingkat tujuh. Seperti Rasulallah saw melakukan Mi’raj dari bumi ini menuju Sidratul Muntaha di Langit Ketujuh. Tujuh kali putaran thawaf itu artinya kita mendaki ke langit pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai ke langit ketujuh. Oleh karena itu karena thawaf menyangkut dimensi akhirat kita diwajibkan suci. Kalau batal maka harus wudhu lagi, karena ini dimensi akherat, dimensi kesucian.
(Baca juga: Rektor UMSurabaya Akan Bimbing Calon Jamaah Haji KBIH Muhammadiyah Surabaya)
Sedangkan sai itu menggambarkan dimensi keduniaan, mengambil pelajaran dari perjalanan Siti Hajar, istri nabi Ibrahim, yang dengan seorang bayi yang memerlukan susu, tetapi air susunya tidak keluar. Sehingga Siti Hajar mondar-mandir dari bukit Sofa ke Marwa. Dikejar ke Shofa tak ada air, dikejar ke Marwa tak ada air. Akhirnya air (Zamzam) itu ditemukan di telapak kaki di mana Nabi Ismail dibaringkan. Zamzam itu dari kata zumi-zumi yakni jangan melebar. Jadi zam-zam itu yang mau melebar kemana-mana di-stop sehingga terkumpul di satu tempat itu (tempat Ismail menghentakkan kakinya).
Jadi sai itu filosofi keduniaan. Karena dunia ini banyak hal kotor, sehingga batal wudhu-nya pun tidak masalah. Artinya, dunia ini tempatnya persaingan. Dan dalam persaingan itu, sering kotor. Seperti berebut ke bukit Sofa, untuk mencapai puncak kesuksesan hidup di dunia ini, meski ada nyikut segala. Lalu dari bukit Sofa kita turun menuju bukit Marwah dengan lari-lari keci—saat ada tanda lampu hijau—artinya kita berlomba untuk cepat mendapatkan peluang dalam kehidupan ini.
Sesudah itu turun lagi, jalan biasa lagi, naik lagi, dan turun lagi. Itu maknanya kehidupan kita ini tidak lepas dari persaingan untuk mencapai puncak ketinggian, di situ gak enak-enakan tapi berjuang untuk mendapatkan semuanya.
Filosofi Haji
Dari miqat haji di Mekah, kita akan menuju Mina. Apa maknanya itu? Itu mengandung filosofi bahwa kita nanti akan dibangkitkan dari alam kubur. Jadi orang melakukan haji itu adalah kebangkitan dari alam kubur. Filosofinya digambarkan seperti kita melakukan tarwiyah di Mina, kemudian wukuf di Arafah, mabit di Musdzalifah. Itu penggambaran akhirat dalam ukuran minim.
Orang sering menyebut haji itu miniatur akhirat. Makanya kita akan dibangkitkan oleh Allah dari alam kubur. Kemudian dibawa ke Padang Arafah, seperti dikumpulkan di Padang Mahsyar melalui proses penimbangan, menentukan amalan seseorang itu berapa baiknya dan berapa buruknya, untuk menentukan seseorang tersebut akan ditempatkan di surga atau di neraka.
Prosesnya kita jalani dalam bentuk melakukan ibadah haji. Diawali dengan tarwiyah, yang diambil dari sejarah Nabi Ibrahim saat beliau menerima perintah dari Allah untuk menyembelih putranya, Ismail, “… Ibrahim berkata: “Hai Anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (As Saffat ayat 102).
Itu kita jalani dalam bentuk tarwiyah artinya mikir-mikir atau merenung: benarkah itu perintah Allah atau hanya sekadar mimpi. Dan ternyata, apa yang dijalani Nabi Ibrahim dalam renungannya itu betul-betul perintah Allah. Setelah tarwiyahan kita menuju ke Padang Arafah, artinya kita telah mendapat pencerahan. Jadi Arafah itu pencerahan, bahwa mimpi Nabi Ibrahim itu sesungguhnya benar perintah dari Allah. Jadi setelah dibangkitkan kita akan kumpul di Padang Mahsyar, penggambarannya yaitu wukuf di Padang Arafah.
Seharian di Arafah, malamnya kita akan diberangkatkan ke Musdzalifah. Musdzalifah itu seperti camp, untuk mempersiapkan tentara yang besok akan melakukan peperangan. Jadi berlangsung pemusatan tentara di Padang Musdzalifah. Di situ tidak ada tendanya, tidak ada alasnya. Kemudian kita mengumpulkan kerikil. Itu maknanya kita mengumpulkan peluru untuk berperang, yaitu melempar jumrah. Perang menghadapi musuh terbesar yaitu setan dan iblis.
(Baca juga: Di KBIH Berpredikat ‘3 Ter’ Ini, Jamaah Dibimbing agar Mabrur sebelum Haji)
Pada tanggal 10 Dzulhijjah kita melakukan perang pertama melawan iblis dan setan yang telah mengganggu Nabi Ibrahim (Jumrah Aqabah, melempar 7 kali). Besoknya, tanggal 11-13 Dzulhijjah, kita akan menghadapi musuh yang lebih banyak. Pertama musuh yang berupa anak, yang digambarkan dalam bentuk Jumroh Ula. Kedua, musuh yang berupa pasangan hidup yaitu istri atau suami, yang digambarkan dalam bentuk Jumroh Wustha. Dan yang ketiga, musuh berupa diri kita sendiri yang digambarkan dalam bentuk Jumroh Aqabah.
Tiga “musuh” itu adalah cobaan hidup yang paling besar dalam kehidupan. Melempar Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah masing-masing 7 kali. Jika kita sudah lulus menghadapi semua itu, itu artinya kita sudah sukses dalam menjalani kehidupan. Semoga mabrur! [*]
*) Dr HM Aslich Maulana SH MAg adalah Kepala Biro Pengembangan Materi Agama Islam dan Kemuhammadiyahan (BPAIK) Universitas Muhammadiyah Gresik dan Pemimpin KBIH Baitul Atiq Bungah, Gresik. Materi ditranskrip dari ceramah bimbingan manasik haji yang beliau sampaikan tanggal 21 Mei 2017 di Perumahan Dinas PT Semen Gresik Segunting, Gresik. Diterbitkan setelah dilakukan editing seperlunya. (MN/Aqil)