Warga Muhammadiyah Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas

Majalah Matan Edisi 211 Februari 2024: Warga Muhammadiyah Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Warga Muhammadiyah Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas, review majalah Matan Edisi 211 Februari 2024

PWMU.CO – Pada 14 Februari tahun ini kita untuk kelima kalinya pascareformasi punya gawe demokrasi yang sangat menentukan masa depan. Setidaknya lima tahun mendatang. Ada pesan singkat yang memikat: “Salah 5 menit menderita 5 tahun.” Tak tanggung-tanggung. Kita memilih lima pemimpin sekaligus: Capres-Cawapres, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan DPD. Tak heran banyak pengamat menyebut Pemilu terbesar di dunia! Lalu bagaimana sikap dan pilihan Anda?

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengingatkan semua kontestan Pemilu 2024 agar tidak mengedepankan pragmatisme politik dan hanya mementingkan kemenangan. Proses pemilu yang serba pragmatis dan oportunistik bisa mengakibatkan pendangkalan politik. Semua pemangku kepentingan pemilu diharapkan menciptakan pemilu yang bermartabat sehingga bisa melahirkan sosok negarawan.

”Kami tidak ingin pendangkalan politik dan disorientasi kenegaraan terjadi karena proses pemilu yang serba pragmatis, yang serba oportunistik, yang hanya mementingkan kemenangan,” sarannya pada diskusi ”Refleksi Akhir Tahun 2023” bersama sejumlah pemimpin redaksi media massa di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (28/12/2023).

Menurut Haedar, kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang diikuti tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pasti akan menghasilkan satu pemenang. Namun, pemilih harus mengetahui rencana-rencana dari para kandidat jika sudah terpilih. Jangan sampai pemilih memberi ”cek kosong” karena nasib 260 rakyat Indonesia selama lima tahun mendatang berada di tangan capres-cawapres terpilih hasil Pemilu 2024.

Haedar berharap ketiga pasangan capres-cawapres bisa memanfaatkan debat untuk membahas masalah-masalah yang dialami masyarakat. Debat jangan sampai seperti cerdas cermat karena menunjukkan kedangkalan berpikir para calon pemimpin bangsa. Sebab, setelah mereka dilantik, para capres-cawapres akan bermigrasi dari politikus menjadi negarawan. 

”Kalau yang ada di pikiran mereka memenangi debat itu lewat cerdas cermat, betapa jauhnya dari sejarah, karakter, dasar nilai, dan prinsip-prinsip konstitusi kita,” kata Haedar.

Ada Potensi Pembelahan Politik

Lebih jauh, kata Haedar, Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam melaksanakan pemilu langsung sehingga pelaksanaan Pemilu 2024 semestinya semakin baik. Pelaksanaan pemilu bukan hanya harus sesuai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, tetapi juga harus bermartabat, beretika, dan menjaga marwah dan nilai keindonesiaan.

Meskipun pembelahan politik tidak setajam di pemilu-pemilu sebelumnya, ada potensi terjadi benturan tajam antarkelompok. Sebab, setiap pihak ingin menegasikan yang lain sehingga melakukan langkah-langkah yang bisa mencederai demokrasi.

”Semua elite, kekuatan politik, serta pendukung di pilpres dan pileg agar secara genuine merawat dan menjaga agar pemilu ini lebih baik, lebih bermartabat, dan kecurangan semakin berkurang, apalagi kecurangan-kecurangan yang disengaja,” tutur Haedar.

Haedar juga mengingatkan penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk menjaga martabat dan marwah institusi masing-masing. KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas harus menjalankan fungsi sesuai peraturan perundang-undangan. Pimpinan KPU dan Bawaslu harus menjaga martabat diri dan martabat bangsa karena menjadi salah satu penentu kesuksesan pemilu. 

”Jangan ada yang masuk angin, angin timur, selatan, utara, barat, karena pertaruhannya terlalu besar,” katanya.

Baca sambungan di halaman 2: Empat Kategori Pemilih

Majalah Matan Edisi 211 Februari 2024: Warga Muhammadiyah Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Empat Kategori Pemilih

Dalam pandangan Anggota Dewan Pakar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Dr Phil Ahmad Norma Permata MA dinamika Pemilu 2024 ini terasa lebih terbuka dibandingkan dengan pemilu sebelum-sebelumnya, termasuk pada suasana pilpresnya.

Hal itu, kata dia, juga sebagai efek dari semakin masifnya penggunaan media sosial (medsos) serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, yang memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk bisa andil melalui komentar dan pendapatnya.

“Di masa lalu komentar tentang emilu didominasi oleh media mainstream yang diisi oleh para komentator profesional dengan latar belakang berbagai disiplin keilmuan. Biasanya para komentator profesional ini cenderung analitis dan dengan kepala dingin dalam menyampaikan pendapat dan komentarnya,” kata dia.

“Plusnya adalah kita menjadi lebih tahu pendapat masyarakat secara lebih terbuka dengan berbagai tendensi dan pengelompokan yang semakin beragam. Minusnya adalah jika kita tidak waspada akan terbawa pada suasana dan tidak menyadari sebenarnya tujuan pemilu itu untuk apa secara konseptual,” terang peraih gelar doktoral dari University of Muenster, Jerman itu.

Dalam realitas politik di lapangan, kecenderungan sikap para pemilih dalam menentukan wakil rakyat maupun pemimpinnya, menurut Norma terklasifikasikan dalam 4 kategori, yakni pemilih emosional, pemilih ideologis, pemilih rasional, dan pemilih pragmatis. Menurut dia, hal itu adalah realitas yang terjadi secara umum di masyarakat, yang masing-masing memiliki dasarnya sendiri-sendiri, serta tidak ada yang lebih baik dibanding yang lain.

“Karena memang posisi masing-masing orang dengan partai politik (parpol) akan berbeda-beda. Keluarga besar para petinggi partai tentu memilih parpolnya secara emosional, karena ini akan menjadi persoalan marwah individu keluarga. Sementara pengikut sebuah kelompok yang menjadi basis sebuah parpol akan memilih partainya secara ideologis karena merasa partai tersebut membela kepentingan politiknya. Pemilih rasional adalah mereka yang secara ekonomi sudah mapan dan berada pada kelas tengah yang masih sangat tergantung pada perubahan sosial politik yang ada,” jelasnya.

Jadi mereka ini, masih jelas Norma, akan memilih partai sesuai dengan kepentingan untuk mempertahankan status quo yang mereka miliki. Biasanya kelompok ini akan memilih partai yang mendukung good governance, pertumbuhan ekonomi dan penegakan hukum, yaitu situasi kehidupan yang stabil yang kompatibel dengan cara berpikir mereka yang predictable dan berorientasi masa depan,” urainya.

Norma menjelaskan, dalam bahasa ilmu politik sikap rasional artinya sikap oportunis, yang mementingkan diri sendiri. Menurut dia, perilaku rasional ini baik dalam artian predictable dan dapat diantisipasi karena memiliki nalar tujuan atau target tertentu yang bersifat objektif, sehingga memungkinkan untuk dilakukan kompromi.

Semakin banyak orang yang rasional maka kehidupan akan semakin mudah dibaca dan kebijakan akan semakin mudah dibuat. Sementara sikap emosional dan sikap ideologis cenderung lebih sulit diprediksi dan juga sulit dilakukan kompromi. Apabila masyarakat bersikap emosional dan ideologis maka kebijakan publik akan sulit dibuat, karena kompromi sulit dilakukan.

Baca sambungan di halaman 3: Dukung Caleg Progresif

Majalah Matan Edisi 211 Februari 2024: Warga Muhammadiyah Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas (Didik Nurhadi/PWMU.CO)

Dukung Caleg Progresif

Norma berpendapat, idealnya partai politik itu berbasiskan pada ideologi, dan karenanya juga menyasar kelompok sosial yang terwakili dengan ideologi mereka. Ideologi partai politik bukan hanya disampaikan dalam platform, melainkan juga tercermin dalam pilihan portofolio Kementerian. Misal, partai nasionalis akan mengincar menteri pertahanan, menteri dalam negeri, menteri hukum, dan sejenisnya. Partai kapitalis akan memilih dan menyasar menteri luar negeri, menteri ekonomi, dan sejenisnya (catatan: di sinilah posisi Masyumi pada era Orde Lama, karena Masyumi adalah partai kapitalis).

Fakta yang tidak banyak diketahui para pendukung partai Islam yang sekarang cenderung lebih sosialis. Karena pengurus Masyumi dahulu adalah orang-orang kaya pemilik tuan tanah keturunan para bangsawan, sementara penggerak partai Islam saat ini adalah orang-orang kelas menengah mantan aktivis sosial yang bukan orang kaya). Lalu partai sosialis akan mengincar menteri sosial, menteri perumahan, menteri pekerjaan umum, dan yang sejenis. Partai sosialis demokrat, termasuk partai agama akan memilih menteri agama, menteri pendidikan, menteri sosial, dan yang sejenis.

Norma mengatakan cukup menarik membaca sikap PP Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh LHKP, yaitu program satu dapil satu caleg untuk Muhammadiyah. Artinya PP sudah tidak percaya lagi pada platform partai politik karena melihat semua partai tidak ada yang memiliki komitmen ideologis. LHKP mempersilakan warga Muhammadiyah untuk masuk ke partai apa saja yang memungkinkan mereka untuk memiliki akses pada kekuasaan. 

“Dari sikap ini bisa dibaca bahwa Muhammadiyah secara kelembagaan sudah masuk kelas elite, sikapnya sudah pragmatis siapa pun yang bisa menjaga keutuhan kepentingan Muhammadiyah akan dibela. Tentu ini akan punya risiko karena fakta di lapangan masih sangat banyak warga Muhammadiyah yang secara ekonomi kelas bawah dan memilih partai politik secara emosional atau ideologis,” ungkapnya.

Norma berpendapat, untuk bisa menjadi pemilih rasional, seseorang perlu bekerja keras supaya bisa masuk ekonomi kelas menengah. Fakta bahwa politik kita semua adalah partai-partai maka pendekatan ideal Muhammadiyah adalah pendekatan kepada individual caleg, bukan lagi label partai. Muhammadiyah perlu punya data tentang caleg-caleg dan profil mereka, lalu mendorong mereka supaya bisa masuk Senayan (Gedung MPR/DPR), apapun latar belakang partainya.

“Idealnya Muhammadiyah memiliki data tentang warganya sendiri, seperti berapa yang masih kategori miskin, berapa yang sudah masuk kelas menengah, dan berapa yang sudah menjadi kelas atas, yaitu yang memiliki akses pada kekuasaan baik politik ekonomi maupun sosial. Di situlah kemudian Muhammadiyah perlu membuat agregat ketika mendorong kepentingan politiknya melalui proses pemilu harus seimbang dalam mewakili masing-masing kepentingan kelompoknya sendiri,” kata dia. (*)

Penulis Miftahul Ilmi Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version