Pembimbing Hebat
Pengalaman yang tidak kalah dahsyatnya, ketika menempuh pendidikan S3. Pak Fuda juga sebagai salah satu tim promotor saya. Beliau juga yang banyak mewarnai disertasi saya, karena merupakan kelanjutan dari penelitian S2 saya yang juga dibimbing olehnya sebagaimana dijelaskan di atas.
Ketika saya menyampaikan bahwa salah satu variabel independen dari penelitian saya adalah kecerdasan emosional (ilmu sosial) yang akan saya ukur melalui kuesioner, beliau langsung menolaknya.
Ada beberapa alasan yang dia sampaikan, pertama, karena saya seorang mahasiswa doktoral di bidang eksakta dan semua tim promotor adalah juga eksakta. Tentu akan kesulitan memverifikasi dan memvalidasi kebenarannya. Menurutnya, parameter itu kurang eksak sehingga akan banyak dipertanyakan oleh orang lain hasilnya.
Kedua, saya belum mempunyai wawasan sama sekali terkait penyusunan alat ukur dalam bentuk kuesioner. Dia juga tidak setuju kalau kuesioner tidak ada yang pakar yang menjamin validitasnya.
Setelah beberapa pekan kemudian, saya dipanggil oleh Pak Fuda untuk berdiskusi kembali tentang rencana disertasi saya. Beliau pun akhirnya menyetujui. Saya diperkenankan menggunakan instrumen kuesioner tapi dengan syarat. Pertama, harus ada pakar yang bisa membantu membuatkan instrumen dan menjamin validitas dan reliabilitasnya. Kedua, harus ada parameter objektifnya yaitu biomarker yang bisa diukur melalui laboratorium. Saya bergumam dalam hati, “Wah, ternyata tidak mudah juga syaratnya, buat pusing kepala rasanya”.
Pak Fuad menyarankan agar saya juga harus mengukur kadar serotonin sebagai biomarker kecerdasan emosional. Sementara untuk kuesioner kecerdasan beliau minta saya untuk mencari pakar di bidang instrumen pada beberapa perguruan tinggi. Saya setuju terhadap saran beliau walau sangat berat karena pengukuran serotonin membutuhkan biaya yang tidak murah. Sementara, mencari pakar instrumen bagi saya juga bukan pekerjaan gampang.
Saya pun kembali berjuang dan hanya berpikir, barangkali saya bisa mendapatkan manfaat yang besar seperti yang saya alami ketika S2, yakni tentang berbagai pengujian statistik. Singkat cerita, saya mendatangi UGM, Unpad, dan UI. Di sana saya, tidak menemukan pakar yang dimaksud. Namun, dari UI saya mendapatkan informasi sekaligus rekomendasi bahwa pakar pengembangan instrumen nasional ada di Jawa Timur, yaitu di IKIP Malang ketika itu. Beliau ahli di bidang tersebut, yaitu Prof Dr Marthen Pali MPsi, salah seorang dosen di IKIP Malang (sekarang UM). Akhirnya, saya menghadap beliau difasilitasi teman seangkatan S3 saya yang juga dosen di perguruan yang sama dengan beliau.
Ketika menghadap Pak Marthen, begitu biasa saya memanggilnya, saya menyampaikan maksud bahwa saya hendak mendapatkan kuesioner yang siap pakai atau kalau belum ada yang cocok ingin ‘ndandakke’ atau minta dibuatkan. Ternyata Pak Marthen menyatakan bahwa, kuesioner tidak bisa dibuatkan oleh orang lain, karena pasti tidak akan sesuai dengan yang diinginkan oleh peneliti. Satu-satunya yang bisa membuat adalah diri sendiri, pungkas Pak Marthen.
Saya kemudian menyampaikan tentang latar belakang saya, bahwa saya tidak memiliki latar belakan pendidikan sosial dan belum pernah mengenal instrumen kuesioner. Dia menjawab, “Anda ini S3! Mahasiswa saya semua yang S1 saja buat sendiri, apalagi S3 tentu tidak boleh dibuatkan oleh orang lain,” katanya. Beliau menyarankan agar saya menyusun sendiri kuesioner penelitian saya dan Pak Marthen siap membimbing saya dalam proses pembuatannya.
Mata Kuliah Penunjang Disertasi
Setelah itu saya melapor ke Pak Fuad terkait hasil konsultasi saya dengan pakar pengembangan instrumen. Pak Fuad langsung setuju usul Pak Marthen dan minta saya supaya ikut kuliah Pak Marthen sebagai mata kuliah penunjang disertasi (MKPD). Alhamdulillah, akhirnya saya kuliah MKPD yang semula direncanakan selama satu semester (6 bulan) dengan Pak Marthen ternyata harus saya jalani selama kurang lebih delapan bulan. Saya kuliah sepekan sekali, datang ke IKIP Malang.
Selesai dengan Pak Marthen, saya melaporkan hasilnya ke Pak Fuad. Beliau setuju dan senang melihat hasilnya. Beliau lebih senang lagi karena saya sudah bisa membuat instrumen sendiri. Alhamdulillah, berbekal ini semua, penelitian yang menggunakan instrumen kuesioner sampai sekarang saya rancang sendiri. Demikian juga saya tularkan kepada para mahasiswa bimbingan saya dari D3 sampai S3.
Proses panjang dalam penyusunan naskah disertasi telah saya jalani. Data kuesioner maupun pengujian laboratorium pun saya selesaikan. Pak Fuad secara konsisten membimbingnya dengan sepenuh hati. Hampir setiap hari saya konsultasi naskah dan secara telaten beliau memberi arahan tentang bagaimana membuat laporan penelitian yang benar dan berkualitas. Beliau selalu menyampaikan bahwa sekolah S3 tidak harus berakhir dengan gelar doktor kalau tidak memenuhi syarat. Beliau selalu menyampaikan seperti itu.
Menurut Pak Fuad, masing-masing gelar ada standar lulusannya, baik S1, S2, dan S3. Itu yang disebut “standard performance”, sehingga kalau tidak memenuhi standar walaupun sekolah S3 dengan waktu yang lama, tidak harus bergelar doktor. Pesan itulah yang selalu terngiang-ngiang di telinga saya.
Melalui konsultasi yang panjang, membuahkan hasil yang cukup buat saya. Hal ini, karena pada ujian doktor tertutup maupun ujian terbuka tidak ada satu pun penguji yang memberikan revisi. Ada pernyataan dari salah seorang penguji, bahwa naskah sudah bagus dan tidak ada yang perlu direvisi, yang ingin diketahui, dan didalami atas penguasaan materi kandidat doktor terhadap hasil penelitiannya.
Itulah sekelumit pengalaman sebagai murid dan bimbingan Pak Fuda selama menempuh pendidikan S2 dan S3 di Universitas Airlangga. Selain yang telah saya sampaikan terkait materi dan cara membimbing, terasa sekali nuansa religiusnya di setiap bimbingan dan pembelajaran yang diberikan oleh beliau.
Selamat jalan, Profesor! Surga insya Allah tempat terbaik Bapak! (*) Editor Mohammad Nurfatoni