Tanda Kekhawatiran sang Raja oleh Ridho Al-Hamdi, dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Direktur Pusdeppol
PWMU.CO – Dalam permainan catur, jika raja sudah berpindah kotak atau bergeser ke posisi lain, itu adalah tanda kekhawatiran.
Ada bahaya. Situasi belum aman. Dia takut kalau dirinya bakal dimakan lawan dan berakhir kalah. Apalagi kalau menteri atau ratu (ster) sudah kalang kabut lari sana-sini dan bertingkah banyak polah untuk menyelamatkan sang raja. Ini adalah situasi yang sangat membahayakan kerajaannya.
Pada tanggal 24 Januari 2024, Presiden Jokowi lagi-lagi menunjukkan tanda kekhawatiran dirinya tentang belum amannya situasi si putra sulung menjelang hari H pencoblosan 14 Februari 2024.
Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan boleh memihak.
Pernyataan tersebut diperjelas ulang pada kesempatan lain dengan mengambil potongan UU Pemilu No 7/2017 pasal 299 ayat 1 bahwa “presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye”.
Ini penjelasan sepotong, tidak lengkap, tendensius, dan bisa menyesatkan. Yuk kita ulas regulasinya secara utuh.
Undang-undang (UU) Pemilihan Umum No. 7 Tahun 2017 pasal 282 menyebutkan, “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu selama masa kampanye”.
Hal ini dipertegas lagi pada pasal 283 ayat 1 para pejabat negara “…dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”.
Ayat 2 menjelaskan, larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pasal 281 ayat 1 menyebutkan, presiden boleh berkampanye selama tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara serta menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Pertanyaannya, apakah tindakan Jokowi tidak mengarah pada Prabowo-Gibran?
Apakah Jokowi bertindak tidak menguntungkan Prabowo-Gibran? Apakah Jokowi melakukan ini semua tidak menggunakan fasilitas negara dan berada pada posisi cuti di luar tanggungan negara?
Seluruh rakyat Indonesia juga sudah tahu, Gibran adalah putra kandung Jokowi dan Iriana. Ini pertaruhan besar sang bapak untuk anaknya.
Perjuangan sang paman melalui Mahkamah Konstitusi berhasil meloloskan sang ponakan meski harus mencederai etika. Namun demikian, masa kampanye tidak lantas membuat Paslon 02 meraih angka survei yang memuaskan. Hasilnya stagnan di bawah 50 persen.
Sulit untuk satu putaran. Sebaliknya, gelombang dukungan untuk paslon lain terus meningkat positif meski rakyat dihajar terus oleh survei-survei pesanan agar meningkatkan elektabilitas sang putra.
Narasi satu putaran pun digembar-gemborkan oleh para ster, kuda, benteng, bahkan pion-pion melalui berbagai macam media sosial (medsos).
Bansos dan BLT pun jadi strategi raja beserta pasukannya untuk memengaruhi opini publik dengan mengatasnamakan bantuan presiden, padahal itu anggaran negara. Namun, rakyat sepertinya tidak mudah percaya dengan hasutan tersebut.
Sulit untuk membuktikan Jokowi bersikap netral dengan keberadaan anak kandungnya meski dirinya pernah mengatakan akan bersikap netral. Tapi itulah si ahli ketidakkonsistenan sehingga Ben Blend (2020) menjuluki Jokowi sebagai man of contradictions.
Alhasil, tindakan Jokowi jelas akan selalu menguntungkan Prabowo-Gibran. Serial konflik yang dipertontonkan dalam drama politik antara Jokowi dan PDIP-Megawati menjadi bukti penguat, bahwa standing position Jokowi pasti untuk kemenangan Paslon 02.
Perihal fasilitas negara, hal ini pasti melekat pada diri seorang presiden dari sejak bangun tidur hingga tidur lagi. Bahkan air putih dan teh yang diminumnya pun bagian dari fasilitas negara.
Sulit memisahkan fasilitas negara pada seorang presiden meski cuti sekalipun. Ke mana-mana harus diantar dengan kendaraan fasilitas negara di luar fasilitas pengamanan.
Lagi-lagi pernyataan Jokowi sulit untuk diukur dan ditakar dalam praktik pelaksanaannya. Karena itu, segala tindak tanduk dan perilaku Jokowi saat ini memang sarat kepentingan dan jauh dari posisi netral.
Segala macam strategi raja sudah dikeluarkan. Ster, kuda, benteng, dan pion pun sudah dikerahkan dengan penuh kekuatan hingga hilang akal sehat. Namun, strategi tersebut terlihat seperti belum efektif.
Narasi satu putaran hanya menjadi ilusi dan mimpi di siang bolong. Dua putaran adalah fakta yang realistis dan suka tidak suka harus dihadapi oleh Paslon 02.
Ada potensi besar bergabungnya antara koalisi Paslon 01 dan 03 siapapun yang masuk ke putaran kedua (sebuah istilah yang kurang tepat meski sudah jadi bahasa umum karena konteksnya).
Di sinilah yang menjadi kekhawatiran sekaligus ketakutan sang raja beserta calonnya yang seakan sulit untuk didongkrak lagi. Ibarat mobil, macet. Kondisi mesinnya sudah tua dan satu lagi mesin baru taraf uji coba (belum lulus standar pabrik/perusahaan).
Sementara mesin pasangan yang lain masih “oke punya” dan bisa diajak ngegas dan sat-set.
Ini adalah tanda kekhawatiran sang raja yang akan meninggalkan tahta kekuasaannya.
Ini adalah tanda ketakutan sang bapak yang khawatir dianggap tidak berhasil mendudukan putra kandungnya pada posisi bergengsi padahal masih berkuasa dengan segala kekuatan sumber daya yang dimilikinya saat ini.
Ini juga tanda hilangnya etika dan akal sehat para pemimpin. Seringkali para pemimpin yang sudah kehilangan etika dan akal sehat, dia justru akan jatuh karena ulah dirinya sendiri.
Kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Akan ada cara yang tidak terduga bagi alam memperingatkan manusia yang sudah terlampau melebihi batas keserakahannya.
Keserakahan seringkali membunuh etika dan akal sehat. Kita tidak ingin memiliki pemimpin seperti itu.
Jokowi adalah pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi tetapi justru dia sendiri yang membunuh demokrasi tersebut secara perlahan-lahan.
Kita butuh energi baru untuk kemajuan dan keadaban Bumi Pertiwi. Rabu 14 Februari 2024 adalah penentunya. Selamat memilih pemimpin!
Editor Sugeng Purwanto
Tulisan ini bisa juga dibaca di ridhoalhamdi.id