Pilgub, Pilpres, Pilnab, dan Piltu
Oleh: Emha Ainun Nadjib*)
(Suatu hari mudah-mudahan berguna)
Ada orang Madura sakit parah butuh donor darah, tapi kemudian menolak setelah dikasihtahu siapa yang menyumbang darah. “Dak mau saya. Dia pernah mencuri. Kalau saya dimasuki darah dia, saya bisa jadi pencuri. Dak mau saya…”
Kebetulan sampai situasi darurat, tak ada darah lain yang cocok. Kalau dokter memaksanya, ia berontak serius. Sampai akhirnya meninggal. Ia dipanggil Tuhan dan meninggalkan pertanyaan: ini peristiwa kebodohan ataukah keteguhan?
Sebagaimana pada peristiwa rutin lainnya dalam hidup manusia, selalu diiringi pertanyaan: Apa beda antara hemat dengan pelit. Istiqamah dengan keras kepala. Konsisten dengan jumud. Boros dengan pemurah. Introvert atau kontemplatif. Setia atau konservatif. Lampu kuning di perempatan jalan itu masih atau sudah. Uang seratus ribu di saku itu hanya ataukah alhamdulillah.
(Baca juga: Ini Kata Cak Nun: Hinalah Aku, Jangan Islam, Please)
Itulah Ibu Ilmu. Itulah titik silang nilai yang melahirkan ideologi. Itulah asal usul keselamatan dan kehancuran. Itulah mataair konsiderasi kejayaan atau keterperukukan sebuah Negara dan bangsa. Itulah persendian di antara sorga dengan neraka.
Humor-humor klasik Madura sebenarnya sudah selalu menggiring mesin akal kita menuju persendian itu. Jual salak diprotes pembelinya: “Salak seupil-upil kok harganya mahal amat”. Si penjual langsung menjawab: “Orangnya cantik kok upilnya sak salak-salak”.
Katanya isi semangka merah dan rasanya manis istimewa, kok ketika terjatuh ternyata isinya kuning. Ketika diprotes si pahlawan menjawab: “Orang saja kalau kecelakaan pucat mukanya, kok semangka disuruh tidak pucat”.
(Baca juga: Permohonan Cak Nun agar Nabi Khidlir Hadir Kembali dan Memutar Arah Istana)
Walhasil jangan berdebat melawan orang Madura. Kalau dagangan kurang laku sampai hampir Maghrib, Tuhan diprotes: “Katanya Rahman Rahim, mana buktinya”. Berperahu cari ikan tak dapat-dapat sampai hampir senja, ia bertolak pinggang menghadap ke langit: “Buktikan pengasih penyayang Sampeyan. Kasihlah ikan lima saja. Dua untuk istri dan saya, tiga untuk anak-anak saya”.
Ketika Malaikat disuruh Tuhan agar menyuruh lima ikan meloncat dari dalam air ke perahunya, nelayan Madura kita masih marah: “Kok lima beneran. Ya sepuluh lah. Rahmannya lima, Rahimnya lima”. Akhirnya Malaikat, atas anggukan kepala Tuhan, menyuruh ikan sebanyak-banyaknya untuk berlompatan memenuhi perahunya.
Dengan agak malu-malu ia menyeret perahu penuh ikan itu ke pantai. Tapi sesampainya di pantai ia melihat asap di arah kampungnya. Kemudian ada yang berlari-lari datang memberitahukan bahwa rumah nelayan kita itu yang terbakar. Ia langsung bertolak pinggang lagi dan memprotes: “Tuhan, kenapa masalah di laut di bawa-bawa ke darat!”.
(Baca juga: Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?)
Kesimpulannya, jangan lawan orang Madura. Pelajari sejarahnya dengan seksama dan teliti. Sumpah Palapa Gadjah Mada itu gagasan dari Madura. Aslinya Lapa-lapa, diucapkan Palapa. Mereka jualan sate sampai Canada, di sana mereka bikin kota Toronto. Aslinya Ronto-ronto.
Tetapi di antara ratusan humor serius budaya dan antropologi manusia Madura, salah satu yang saya nilai genius adalah tukang becak di perempatan jalan. Sejak seratus meter sebelum perempatan, yang jalannya agak menanjak, ia menyorong becaknya sambil setengah berlari. Setelah lancar dan agak ringan, lajunya terhalang oleh lampu merah.
Tentu ia tidak mau menyia-nyiakan perjuangannya. Maka ia laju saja menerjang batas, melintas perempatan jalan. Sejumlah kendaraan dari arah silang mendadak harus ngerem dengan hati geram. Pak Polisi melompat berlari dan berteriak: “Guoooblog! Sudah tahu lampu merah kok terus saja. Dasar tukang becak goblog!”.
(Baca juga: Ini Kata Cak Nun: Indonesia Makam Pancasila)
Pahlawan Madura itu sedikit menoleh ke arah Pak Polisi sambil tersenyum. Sambil meneruskan genjot becak ia nyeletuk: “Kalau dak goblog dak mbecak saya Pak…”
Itu pernyataan dari posisi mental, psikologis, atau logika berpikir yang bagaimana? Apakah itu fatalisme? Kepasrahan hidup? Biso rumongso alias tahu diri? Kemandegan perjuangan? Atau kearifan? Atau rasio terhadap batas? Semacam nahi munkar atas diri sendiri? Prinsip puasa? Atau ketidakberdayaan sosial?
Kita tahu dalam dinamika kehidupan, goblog dan pinter itu animasi, halusinasi atau mungkin sejatinya tidak ada. Goblog adalah kearifan yang menyamar. Pinter adalah kebodohan yang bersolek. Yang bicara “kalau dak goblog dak becak” mungkin sekali bukan si tukang becak. Melainkan ‘seseorang’ atau suatu arus energi di belakang layar yang bermaksud mengkritik cara berpikir mainstream.
(Baca juga: Cak Nun tentang Lomba Ajal di Gerbang Perubahan, Ada Peristiwa Besar pada 26 Agustus 2017?)
Mainstream cara pandang budaya umum dan popular pakai bagan nilai: pekerjaan tukang becak itu rendah. Kerendahan sosial dihasilkan oleh kondisi tidak terdidik. Keterdidikan adalah bersekolah. Lulus sekolah itu prestasi, kepintaran dan ketinggian derajat sosial. Makan sekolahan dan kepandaian menghasilkan kekayaan atau kekuasaan. Berkuasa itu menang. Memang itu benar. Benar itu baik. Baik itu masuk sorga.
Tukang becak kita itu tamatan SD. Teman sekampungnya keluar dari sekolah ketika kelas empat. Sekarang justru kaya raya dagang besi tua. Konglomerat regional. Istrinya empat. Ikut training peningkatan daya sex, tapi keperluannya terbalik. Ia justru mencari metode bagaimana menurunkan daya sexnya, atau meredakan api syahwatnya. “Saya dak tega sama istri-istri saya. Saya lelah cari istri muda lagi”.
Siapa yang memilih tamatan SD itu jadi tukang becak dan jebolan kelas 4 SD itu jadi konglomerat? Itu pilihan dan keputusan manusia, ataukah skrip Lauhul Mahfudh? Siapa yang memilih seekor semut dibikin lebih besar tubuhnya dibanding ratusan lainnya sehingga menjadi Ratu Semut?
(Baca juga: Keterjebakan Politik Identitas dan Harapan Cak Nun pada Muhammadiyah)
Siapa yang mengambil keputusan ada rusa yang bisa makan dedaunan, dan ada harimau yang hanya bisa makan rusa atau daging apapun lainnya? Sehingga Rusa hidup sejahtera, sementara macan akan mati pelan-pelan seirama dengan semakin melemahnya kemampuannya untuk berburu binatang lain?
Manusia mengambil harimau menjadi lambang keperkasaan dan rusa adalah makhluk lemah. Manusia lain melihat rusa adalah contoh kenikmatan dan kesejahteraan, karena rumput dan daun ada di mana-mana. Sementara macan dan singa adalah simbol kesengsaraan dan mati ngenes. Siapa yang memilih ini jadi ayam, itu jadi burung, yang sana jadi gajah, lainnya jadi Jin, lainnya lagi jadi Malaikat, dan yang sini dikasting jadi manusia.
Manusia lainnya bikin Pemilu untuk memilih Bupati, Gubernur, Wakil Rakyat atau Presiden. Kita bangun pasar kapitalisasi kekuasaan yang kita sebut Demokrasi. Kita dirikan toko-toko besar perniagaan jabatan, tawar menawar otoritas, timbangan yang kita atur kemiringannya berdasarkan hasil transaksi materiil.
(Baca juga: Blak-blakan Cak Nun soal Kondisi Indonesia: Tinggal Ditolong Tuhan apa Tidak…)
Kita selenggarakan lelang jabatan, kemudian kita tayangkan dengan judul Pilbup, Pilgub atau Pilpres. Kita dirikan perusahaan raksasa, kita kasih merk Negara. Di dalamnya masing-masing petugas perusahaan bikin perusahaan sendiri-sendiri, berkoloni-koloni, berkelompok-kelompok, atau sendiri kecil-kecilan menggerogoti dinding perisahaan besar.
Seluruh perniagaan itu menghasilkan komoditas unggul hasil multi-transaksi keuangan. Komoditas itu kita perkenalkan sebagai pemimpin. Barang dagangan itu kita tandatangani bernama pemimpin lokal, pemimpin regional dan pemimpin nasional. Dan para pemimpin berbagai level itu juga tidak sudi hanya menjadi komoditas, mereka sendiri pedagang.
Diumumkan bahwa itu berdasarkan kredibilitas, tapi itu karangan. Atau integritas, tapi pemolesan dan pencitraan. Disebut elektabilitas maksudnya adalah tingkat ketertipuan publik oleh iklan-iklan pencitraan. Diumumkan hal ekspertasi, maksudnya adalah selembar kertas ijazah yang bisa dibeli dengan pura-pura kuliah enam bulan sekali.
(Baca juga: “NKRI Harga Mati”: Jargon yang Absurd?)
Hasilnya adalah kancil menjadi raja rimba. Tokek dan kadal ‘megang’ region ini dan itu. Monyet dimake-up diumumkan sebagai publik figur. Kambing dikostumi dilantik menjadi idola. Akan ada hari di mana tukang becak Madura akan menjadi Guru Besar: orang belajar untuk tahu diri. Kita pernah dipimpin oleh Sriwijaya, Ratu Shima, Gadjah Mada. Sekarang burung Cipret kita lantik sebagai Garuda.
Pada saatnya nanti dengan Demokrasi kita bikin Pilnab, pemilihan Nabi. Kita selenggarakan Piltu, pemilihan Tuhan. Jangan biarkan ada siapapun berperan di Negeri ini tanpa melalui mekanisme hak pilih rakyat. Kapan ada pemilu yang menghasilkan Muhammad adalah Nabi, itupun terakhir, tak boleh ada Nabi sesudahnya? Kapan ada Keputusan MPR atau Perppu yang menyatakan tidak boleh ada Nabi lagi sesudah Muhammad?
Siapa dulu yang menerbitkan Surat Keputusan bahwa Allah itu Tuhan? Siapa yang melatik Jibril menjadi Menko Malaikat? Itu Iblis punya visa apa nggak kok seenaknya masuk Indonesia dan membikin kerusakan dari Sabang sampai Merauke? Kita perlu sidang nasional “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” di Senayan atau Palangka Raya atau Sampit atau mungkin malah di Sumenep, untuk memproses dan mengambil keputusan yang memastikan – misalnya – apakah yang dimaksud Tuhan Yang Maha Esa itu Allah atau siapa?
(Baca juga: Din Syamsuddin tentang Khilafah Modern dan Vatikan)
Tuhan harus patuh kepada konstitusi Negara kita. Nabi dan Rasul tidak boleh melanggar aturan perundang-undangan Negara. Agama wajib menyesuaikan diri terhadap Pancasila. NKRI harga mati. Negara jangan sampai kalah lawan Tuhan.
Juga harus adil pembagian rumah-rumah dinas para Malaikat dan Iblis beserta perwira-perwiranya di hunian hasil reklamasi di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Bahkan sesegera mungkin harus disusun peraturan tentang penempatan hunian kaum Jin, masyarakat Banujan, hantu-hantu, roh-roh mukswa dari abad-abad sebelum Masehi, spirit-spirit liar dari masa silam, termasuk tamu-tamu sporadis dari alam Malakut dan Jabarut.
Itu sangat penting. Agar roh-roh anarkis itu tidak seenaknya masuk Istana dan merusak jiwa penghuninya. Menyusup masuk gedung-gedung Pemerintahan, rumah-rumah dinas, bahkan subversi di Masjid, Gereja dan rumah-rumah ibadat lainnya.
Para aktivis berteriak: “Hentikan hukum rimba, di mana yang menang adalah yang kuat karena menguasai modal”. Maksudnya mulia, tapi salah kata: rimba adalah organisme terindah indah dan paling solid karya Tuhan Yang Maha Esa. Yang kita nantikan bersama justru adalah berlakunya kembali hukum rimba.
*)Emha Ainun Nadjib, budayawan