PWMU.CO – Film Dirty Vote yang lagi viral sekarang bukan show jurnalistik, melainkan hasil liputan investigasi yang terpaksa dihadirkan dalam bentuk film dokumenter.
Demikian komentar dosen Unmuh Jember Kukuh Pribadi MA dalam perbincangan di kampusnya dengan PWMU.CO, Selasa (13/2/2024).
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jember melihat film ini berbeda dengan gaya dokumenter watchdog yang menampilkan narasi dengan wawancara langsung di lokasi, film ini hadir seperti presentasi kuliah di kampus.
Menurut dia, kalau dianalisa sebenarnya film ini liputan investigasi yang terpaksas jadi film dokumenter. Bukan termasuk produk jurnalistik karena laporannya tidak menampilkan cover both-sides sebagai syarat jurnalistik.
”Tiga narasumbernya pakar hukum tata negara semua,” kata Kukuh Pribadi. Narasumber film itu Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.
Kukuh juga menyoroti aspek teknis penyutradaraan. Menurutnya, keputusan sutradara Dandhy Laksono untuk mengemas film ini dengan penyajian dalam studio gelap, ada videotron, diperlihatkan master control beserta kru dalam frame semata untuk menciptakan kesan organik, tanpa rekayasa, dan menunjukkan bahwa film ini hasilnya mentah.
“Kenapa sih film ini harus di sebuah studio gelap kemudian ada videotron yang landscape gitu dengan memperlihatkan proses balik layarnya yang memperlihatkan master control beserta krunya, ya jawabannya membangun citra dan pesan bahwa film ini itu kesannya merupakan film yang mentah, unscripted, tidak dengan dana besar sehingga seolah-olah hasilnya itu organik,” ungkapnya.
Film Dirty Vote, sambungnya, berusaha membangun kesan bahwa ketiga narasumber yang berbicara menyampaikan pendapat dan menyajikan data itu karena keinginan dirinya sendiri.
“Kesan organik ini tambah kuat karena ketiga narsum tersebut mereka ngomong sesuai dengan keinginan dan kapasitasnya sendiri, apalagi film ini nge-build kesan live pada saat presentasi, seperti perpindahan kameranya itu live, terus perpindahan narsum itu terkesan tidak ada cut, lalu bocor audio yang disengaja saat ngobrol basa-basi narsum,” paparnya.
Hal tersebut diperkuat analisis Kukuh yang menekankan pada adegan seperti saat salah satu narasumber menggambar pembagian hasil putusan hakim, dimaksudkan untuk menguatkan kesan keaslian film tersebut.
“Kenapa adegan menggambar ini harus muncul, padahal bikin gambar atau grafis itu saat sebelum presentasi di studio kan gampang mengingat juga grafis presentasi yang muncul di videotron kan bagus-bagus, kenapa harus dikesankan gambar di tempat? Ya karena untuk menjaga bahwa film ini kesannya organik, walaupun sebenarnya itu sudah disiapkan logikanya mengingat untuk melakukan konektivitas dari tablet ke videotron itu sudah siap device-nya,” terang dia.
Rilis film memasuki masa tenang, kata dia, untuk menegaskan bahwa Dirty Vote bukanlah instrumen kampanye, mengingat di film ini tidak ada ajakan untuk memilih paslon tertentu, meskipun film ini secara terang-terangan mengekspresikan ketidakpuasan terhadap Presiden Jokowi.
“Ya film ini cuman kekesalan mereka terhadap Presiden Jokowi saja, pada ending film tersebut yang menjadi adegan paling menarik menurut saya, secara semiotika jika dikaji kan adegan terakhir menunjukkan video pendaftaran Prabowo dan Gibran di KPU, lalu disusul tiga narsum ini jalan pulang melewati videotron, lantas disusul dengan kru master control, lalu ruangan gelap dan video janji-janji Presiden Jokowi ini diputar di studio yang kosong ini,” ujarnya.
Adegan itu mengartikan bahwa Jokowi sudah ditinggalkan sebagian rakyatnya karena tidak mampu memenuhi janjinya dan justru melanjutkan oligarkinya. ”Itu pesan tersembunyi yang tidak disampaikan secara verbal,” jelasnya.
Meskipun film ini akhirnya dianggap sebagai film dokumenter, Kukuh berpendapat pendekatan tidak lazim yang diambil oleh sutradara membuat film Dirty Vote menarik.
Ia menyatakan, pengemasan masalahnya diceritakan secara runtut dengan didukung penggambaran data beserta ilustrasi yang sederhana sehingga masih banyak mayoritas orang bisa mencerna.
Kukuh Pribadi menyatakan, film Dirty Vote mirip menonton dokumenter milik Al-Jazeera yang mengindikasikan film ini tidak hanya menjadi bahan diskusi, tetapi juga berhasil menciptakan pengalaman unik di dunia perfilman dokumenter Indonesia.
Penulis Zeinel Arfin Sadiq Editor Sugeng Purwanto