Waspada Saudara Ipar
Di antara kewaspadaan terjadinya hal-hal yang tidak sepatutnya itu adalah saudara ipar. Sebagaimana penjelasan hadits nabi di atas, bahwa saudara ipar itu maut. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Dalam tradisi masyarakat, kedekatan atau keakraban dalam keluarga dianggap biasa-biasa saja, padahal agama memberikan garis batas yang tegas antara seorang laki-laki dan perempuan sekalipun itu dianggap masih keluarga atau family.
Agama ini mengajarkan bahwa pergaulan laki-laki dan perempuan itu memiliki batas-batas aturan, selama mereka bukan termasuk mahram yakni orang yang haram dinikahi, baik karena nasab atau keturunan dan karena sepersusuan, maka pergaulan dan keakraban itu tidak diperkenankan. Apalagi yang jelas-jelas bukan termasuk family atau keluarga, maka hal itu sangat dilarang karena dapat menimbulkan perbuatan yang tercela.
Rasulullah juga mengajarkan kepada setiap keluarga Muslim agar memisahkan tempat tidurnya antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini juga merupakan langkah antisipasi dan sekaligus bagian yang terintegrasi dalam syariat ini. Sebagaimana sabda beliau yang di riwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
dan pisahlah tempat tidur di antara mereka” (HR Abu Daud).
Dengan demikian sekalipun dianggap sebagai keluarga dekat maka pergaulan antara laki-laki dan perempuan sedemikian dibatasi agar seorang hamba tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang nista. Karena sudah sesuai fitrah manusia bahwa laki-laki pasti memiliki ketertarikan atau kecenderungan kepada perempuan dan begitu sebaliknya, sekalipun telah beristri atau bersuami hubungan keakraban itu tidak diperkenankan.
Maka seorang muslim sudah seharusnya paham siapa saja yang termasuk mahram itu sehingga dapat mengetahui batasan pergaulan dalam keluarga besarnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُوا دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Nisa-23)
ayat di atas menjelaskan tentang seorang laki-laki diharamkan menikahinya, dan tentu berlaku sebaliknya bagi seorang perempuan, dilarang menikah dengan ayahnya, anak-anak laki-lakinya, saudaranya ayah yang laki-laki, anak-anak laki-laki dari saudara yang perempuan dan seterusnya.
Demikianlah agama ini mengajarkan kepada secara detail persoalan pergaulan antara laki-laki dan perempuan, sekalipun hal itu dianggap sebagai keluarga besar atau family, dan tentu apalagi jika terkait dengan orang lain di luar keluarga besarnya itu. Maka hukum pacaran adalah haram, jangan sampai anak-anak kaum muslimin terjebak pada budaya pacaran yang dapat menjerumuskan ke dalam perbuatan nista. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni