PWMU.CO – Kebijakan Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Terdapat elemen-elemen masyarakat yang mendukungnya. Ada pula yang menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Penyikapan model ini biasanya karena mereka selama ini sudah menerapkan konsep Pendidikan Lima Hari Sekolah.
Namun terdapat pula elemen masyarakat yang tegas dan keras menolak kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, seperti yang dilakukan oleh sahabat-sahabat kami di Nahdlatul Ulama, termasuk sikap resmi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Alasan yang paling dominan adalah terkait keberadaan Madrasah Diniyah (Madin). Kebijakan Lima Hari Sekolah dinilai akan menggerus eksistensi Madin.
Meskipun Kebijakan Lima Hari Sekolah tidak secara langsung terkait dengan Muhammadiyah, namun dengan posisi Mendikbud Prof Dr Muhadjir Effendy yang notabene adalah warga dan Ketua PP Muhammadiyah, sulit dihindari adanya pihak-pihak yang mencoba mengaitkan keberadaan Prof Dr Muhadjir Effendy dengan Muhammadiyah. Sementara di sisi lain, elemen yang menolak tegas dan keras adalah sahabat-sahabat dari NU, termasuk PBNU, yang tentu menjadi sulit pula dihindari adanya pengaitan secara berhadap-hadapan antara Muhammadiyah dan NU—sesuatu yang tentunya sangat tidak diharapkan dalam konteks menjaga ukhuwah Muhammadiyah dan NU.
Kekhawatiran adanya pengaitan secara berhadap-hadapan antara Muhammadiyah dan NU, termasuk menyikapi keberatan sahabat-sahabat di NU tersebut, maka kami dari Eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah (Eksponen AMM) merasa penting untuk menyikapinya sebagai berikut:
(Baca juga: Sekolah Muhammadiyah Surabaya Siap Implementasikan Program Penguatan Pendidikan Karakter)
1. Bahwa dikeluarkannya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, sama sekali tidak ada di dalamnya kepentingan Muhammadiyah atas kebijakan tersebut.
Permendikbud tersebut dikeluarkan semata-mata dalam kapasitas Mendikbud sebagai pembantu Presiden. Mendikbud mengeluarkan peraturan tersebut dalam rangka menjabarkan Nawacita yang menjadi program Pemerintah, terutama dalam hal pembentukan karakter bangsa.
2. Kami eksponen angkatan Muda Muhammadiyah menyadari bahwa sebagai bagian dari komponen bangsa, Muhammadiyah selalu mendukung setiap kebijakan yang dinilai baik dan bermanfaat bagi masyarakat luas, namun tetap memberikan masukan atau kritik yang konstruktif apabila terdapat kebijakan yang dirasa merugikan masyarakat luas.
3. Kami juga merasa penting untuk menyikapi sikap resmi PBNU, terutama sikap yang menyebut bahwa penolakan PBNU atas kebijakan lima hari sekolah karena dinilai akan mematikan atau menggerus eksistensi Madrasah Diniyah (Madin), yang kami nilai sangat berlebihan. Penyikapan ini tentu bukan dimaksudkan untuk menambah gaduh suasana, tapi sekadar untuk meluruskan beberapa hal yang menurut kami sangat jauh dari apa yang dimaksud dan dikehendaki oleh Permendikbud Nomor 23 tahun 2017.
4. Kebijakan-kebijakan yang awalnya diduga akan mematikan Madin bukan kali ini saja, tapi sudah beberapa kali dan terbukti tidak mematikan Madin. Pemerintah Orde Baru melalui Departemen Agama pernah membuat kebijakan berupa Madrasah Ibtidaiyah (MI), selain tentunya Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah.
Hadirnya MI yang di dalamnya juga sarat mata pelajaran agama yang juga diajarkan di Madin, saat itu mendapat reaksi luar biasa karena diyakini akan mematikan Madin. Ketika tumbuh subur Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) juga diributkan. Alasannya sama, karena diyakini akan mematikan Madin. Namun faktanya Madin tetap hidup hingga saat ini.
5. Terakhir, kami menghimbau kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk tetap menyikapi persoalan dan kegaduhan terkait Permendikbud 23 Nomor 2017 yang terjadi saat ini dengan kepala dingin dan tidak mudah terhasut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Jakarta, 9 Agustus 2017
Atas nama Eksponen AMM
Muhammad Izzul Muslimin dan Ma’mun Murod Al-Barbasy