Allah Mengajar Manusia
Ayat pertama dalam al-Quran adalah mengenai perintah untuk membaca. Tentu membaca dalam hal ini bukan sekedar melafalkan teks-teks di depannya, akan tetapi lebih luas dari itu adalah membaca dalam pengertian dan jangkauan untuk memahami esensi dari semua yang ada ini, termasuk di dalam diri kita sendiri. Membaca dikatakan bermanfaat ketika dari hasil membacanya itu semakin menambah keilmuannya yang berdasar keilmiaannya dan alamiahnya.
Selanjutnya dengan ilmunya itu ia semakin sadar bahwa ia sesungguhnya masih belum berilmu, karena tidak terbatasnya ilmu Allah. Rasulullah saat menerima wahyu pertama dengan perintah “iqra’ ya Muhammad!”, beliau menjawab “maa ana biqari’in”, “bacalah Muhammad!” Rasul menjawab: “aku tidak bias membaca”. Suatu bentuk kesadaran atas pemahaman beliau terhadap ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perasaan itu menunjukkan aka nada kebutuhan akan bimbingan Dzat Yang Maha Tahu, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ. خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ. اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ. الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (al-Alaq: 1 – 5)
Orang yang merasa dirinya pandai seringkali menyombongkan diri dari orang-orang kebanyakan. Mereka mengira merekalah orang-orang mulia dan harus dimuliakan, mereka suka mengambil jarak dengan umatnya disebabkan perasaan yang menipu dirinya sendiri itu. Mereka merasa hebat dengan ilmunya dari orang lain. Itulah ketika ilmu itu tidak bermanfaat bagi dirinya, ia menjadi semakin sombong. Padahal seperti filosofi padi, semakin berisi semakin merunduk.
Secara keilmuan tidak ada kemuliaan itu karena ilmu, harta atau kepemilikan benda-benda duniawi lainnya, karena semua itu justru sebagai amanah yang jangan sampai disalahgunakan untuk hanya demi kemuliaan dirinya semata atau merasa dirinya mulia semulia-mulianya manusia. Amanah itu akan dimintai pertanggung jawaban, sehingga jangan merasa percaya diri dengan amanahnya itu, sebelum dapat menundukkan diri kepada Allah secara penuh.
Allah mengajar manusia dengan perantara pena, mengajarkan kepada manusia apa yang tidak ia pahami. Jadi semua ilmu itu milik Allah, dari Allah untuk diajarkan kepada hamba-hambanya. Dengan demikian tidak ada dikotomi antara ilmu sains dan teknologi dan ilmu agama atau syariah, semua itu jika kita telah memahaminya itu semua dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua ilmu itu amanah bagi yang telah diamanahi oleh Allah tanpa membedakan jenis ilmunya umum atau agama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni