Puasa Politik dan Politik yang Berpuasa; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
PWMU.CO – Banyak yang bilang Pemilu 2024 adalah pemilihan umum yang paling brutal pascarevormasi. Politik yang penuh drama berseri. Ada manuver dan intrik politik yang cenderung vulgar. Caci maki dan saling serang di media soaial antarcalon dan pendukungnya.
Bahkan perang dalil agama dan penyamaan paslon dengan sahabat nabi yang mulia juga dilakukan. Antarpemuka agama yang semestinya menjadi teladan, ternyata juga saling serang. Sempurna sudah kebrutalan Pemilu 2024.
Lebih brutal lagi, nyaris tidak ada ciri khas partai berideologi Islam maupun nasionalis yang bersih dari money politic alias politik uang. Seolah semua berlomba meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara.
Bahkan logika hukum agama ditekuk sedemikian rupa agar risywah (suapa atau politik uang) menjadi boleh (halal). Nafsu untuk menang dan menguasai telah meruntuhkan sendi-sendi keimanan. Padahal Islam tidak hanya harus benar niat dan tujuannya, tetapi juga prosesnya. Benar secara prosedural dan sahih secara substansial. Itulah yang dicontohkan Rasulullah dalam berdakwah. Risywah politik seolah membantu padahal merusak sendi-sendi sosial.
“Kalau seseorang melakukan pelanggaran agama terkait dirinya sendiri, tidak puasa, tidak shalat, atau minum khamr, paling yang rusak hanya dirinya sendiri, tapi melakukan risywah yang rusak sistem politik secara umum. Itulah sebabnya pelaku risywah tempatnya di neraka.”
Padahal risywah melahirkan dosa-dosa ikutan yang mengerikan. Artinya, pemberian risywah adalah sumber dosa yang menelurkan dosa-dosa baru. Ketika menang dengan risywah maka muncul sikap sombong dan khianat akan janji-janji politiknya. Ketika kalah dan perolehan suara tidak sebanding dengan amplop risywah yang dibagi, maka muncul kemarahan dalam hati, dari hati yang sakit muncullah suudzon terhadap semua orang yang diberi amplop.
Dari suudzon dalam hati keluar menjadi ucapan-ucapan yang tidak bijak yang menyakiti banyak orang. Dari ucapan yang menyakiti banyak orang kemudian memicu ghibah massal. Padahal konsep dalam hadits nabi menerangkan barang siapa menjadi sebab sebuah dosa maka dia juga menanggung dosa yang melakukan berikutnya.
Begitu pula sebaliknya barang siapa memulai hal yang bagus maka dia juga memperoleh pahala dari orang-orang yang melakukan kebaikan setelahnya.
Lalu di mana kebaikan risywah politik? Tidak ada, maka semua sistem politik di dunia mencelanya, dan tidak ada yang melegalkannya. Menolak risywah berarti menghormati kemanusiaan.
Kalau seseorang melakukan pelanggaran agama terkait dirinya sendiri, tidak puasa, tidak shalat, atau minum khamr, paling yang rusak hanya dirinya sendiri, tapi melakukan risywah yang rusak sistem politik secara umum. Itulah sebabnya pelaku risywah tempatnya di neraka.
Bagi penerima risywah bisa memperoleh tambahan dosa karena khianat. Menerima amplopnya namun tidak memilihnya. Tetapi hati yang sakit karena kalah tetaplah merasa benar sendiri, seolah yang lain tidak boleh punya sikap sendiri, seolah semua orang tidak memiliki pemikirannya sendiri, seolah semua bisa dibeli, seolah semua layak dicaci karena sudah merasa dibeli.
Ledakan Hoax
Kebrutalan lain dalam Pemilu 2024 adalah meledaknya berita bohong alias hoax tanpa ada filter. Ketika semua memproduksi hoax maka tidak ada lagi kepercayaan. Inilah yang disebut post truth, di mana kebenaran menjadi kabur yang mengakibatkan tidak saling percaya.
Pemilu 2024 juga menjadi arena terbunuhnya kepakaran, dimana kapasitas keilmuan dan kepakaran seseorang tidak ada artinya. Seorang profesor, kiai, ustadz, tokoh biasa menjadi bahan ejekan dan ledekan. Kepakaran seseorang dipertanyakan dan dibantah begitu saja dengan celometan orang bahkan yang tidak tahu sama sekali masalahnya. Kebenaran dan kepakaran tumbang oleh demokrasi liberal yang menyamakan suara kiai khos dan penjahat khos.
Bukan hanya kepakaran yang tumbang, tetapi juga moralitas. Cerdik cendekiawan, ulama, kiai, ustadz juga banyak yang berlumuran najis politik. Mereka yang mestinya jadi panutan justru menjadi sumber penghinaan dan pelecehan terhadap tokoh lain yang berbeda pilihan.
Mereka yang setiap harinya mengajarkan kitab suci dan moralitas juga ikut melecehkan akhlak. Mereka yang dianggap suci dan wira’i justru secara vulgar memyebarkan virus risywah. Umat kehilangan panutan. Moralitas kehilangan penjaganya. Semua dianggap benar asal menguntungkan secara materi.
Kecurangan pemilu tidak akan menghadirkan harmoni dalam kehidupan sosial. Saling tuduh dan menyalahkan akan terus berlanjut dalam ekspresi suka dan tidak suka. Jika benar maka dicari kesalahannya, jika salah maka dicari semaksimal mungkin. Jika sesuatu diawali dengan kelicikan, diproses dengan keculasan, hanya melahirkan kegaduhan.
Hikmah Ramadhan: Menuju Kebijaksanaan
Namun, Ramadhan segera datang. Puasa sebulan menunggu menundukkan nafsu. Akankah puasa mampu menaklukkan panasnya suhu politik yang penuh nafsu kekuasaan? Bukankah nafsu itu dari setan, sementara para setan dibelenggu selama Ramadhan. Nyatanya puasa adalah ibadah yang paling personal. Kualitas puasa ditentukan sendiri oleh pelakunya.
Puasa melatih menundukkan nafsu keduniaan, keserakahan, keinginan menguasai semua, mengalahkan yang lain dengan segala cara. Ketika nafsu telah memuncak, maka Islam memberikan puasa sebagai pengerem yang ampuh. Ketika hati panas dengan kerakusan politik, maka puasa hadir sebagai penyejuk jiwa. Ketika mulut tidak terjaga maka puasa mengingatkan bahwa lapar dan dahaga tidak berguna jika lisan tidak terjaga.
Ketika pikiran melanglang buana menyombongkan logika menekuk hukum dalam kuasanya, maka puasa menghadirkan kemurnian hati membimbing logika menuju bijaksana. Puasa menyadarkan orang yang bertakwa bahwa hasrat dunia amatlah sederhana, cukup sebutir kurma, cukup segelas air penghapus dahaga saat berbuka. Apa yang harus diperebutkan dengan menggadaikan etika ketika dengan sesuap nasi dunia baik-baik saja.
Puasa melembutkan hati yang jumawa bahwa raga ada batasnya. Menahan lapar dan dahaga menjadi sarana instropeksi diri, kalau bisa menahan kebutuhan pokok kenapa tidak bisa menahan kebutuhan yang bukan pokok. Ketika menahan melahirkan kenikmatan, lalu kenapa tidak dilakukan.
“Istilah sidratul muntaha bukan saja merujuk pada puncak perjalanan isra mikraj tetapi juga puncak kebijaksanaan. Ramadhan bisa menjadi perjalanan menuju kebijaksanaan.”
Dalam bulan Ramadhan, selain puasa kita juga diajarkan memperbanyak shalat. Tarawih menjadi shalat sunat yang istimewa dalam bulan suci Ramadhan. Shalat adalah sarana dzikir menuju kebijaksanaan. Shalat semestinya melahirkan kebijaksanaan dan kematangan sikap.
Perintah shalat diberikan pada saat Rasulullah di sidratul muntaha. Sidrah adalah nama sebuah pohon disekitar Palestina. Muntaha adalah ujung atau puncak. Dalam budaya Kristen, mereka membuat pohon natal dengan bintang bersinar pada ujungnya. Hal ini menjadi perlambang puncak kebijaksanaan.
Karenanya istilah sidratul muntaha bukan saja merujuk pada puncak perjalanan isra mikraj tetapi juga puncak kebijaksanaan. Ramadhan bisa menjadi perjalanan menuju kebijaksanaan.
Puasa dan shalat pada bulan Ramadhan mestinya membuat orang beriman menjadi lembut hatinya, mampu mengelola pikirannya dan bijaksana dalam bersikap. Kebrutalan pemilu terjadi karena ketidakmampuannya mengelola hati, pikiran dan perbuatan sehingga melahirkan kesombongan, kedengkian, keserahakan, kepicikan, ketamakan, dan sikap destruktif yang menjauhkan harmoni sesama anak bangsa. Banyaknya forum kajian, ceramah dan majelis-majelis ilmu menjadikan Ramadhan sebagai madrasah untuk mendidik hati dan pikiran agar menjadi sehat.
Ramadhan dengan puasa, shalat dan ibadah lainnya menjadi instrumen instrospeksi, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial, kususnya politik yang banyak menguras energi. Puasa kita gunakan untuk membersihkan hati kita dari kotoran residu pemilu yang brutal, menata struktur berpikir kita supaya tetap pada jalur akal sehat, mengontrol jari dan mulut kita agar tidak menyakiti orang lain, menuntun kebijaksanaan dalam bersikap dan berbuat tetap dalam koridor nilai dan etika Islam yang mulia.
Puasa politik bukan berarti meninggalkan dan melupakan politik, tetapi berpolitik yang berpuasa, dalam arti hati, pikiran dan perbuatan tetap terjaga dan terukur sesuai porsi dan kegunaannya, semua dalam kendali hati yang bersih dan akal yang sehat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni