Bahaya Kesalahan Memahami Takdir; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي حَفْصَةَ قَالَ قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي. رواه أبو داود
Dari Abu Hafshah ia berkata, Ubadah bin Ash Shamit berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan.”
Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya, “Tulislah!” pena itu menjawab, “Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?” Allah menjawab, “Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat.” Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku.” (HR Abu Dawud)
Takdir Allah
Beriman kepada takdir Allah adalah bagian yang terintegrasi dari rukun iman lainnya. Ketidakberiman seseorang pada salah satu dari 6 rukun iman menyebabkan seseorang tersebut dianggap kufur atau batal keimanannya. Maka beriman kepada takdir Allah ini juga merupakan hal yang sangat prinsip yang wajib dipahami oleh umat. Ketidakpahaman seseorang kepada takdir menjadikan mereka tidak dapat merasakan lezatnya iman, karena ia tidak akan dapat hidup dengan keyakinan yang benar terhadap prinsip-prinsip mana yang harus diyakini dan mana yang harus diingkari.
Nasehat Ubadah bin Shamit kepada anaknya dalam teks hadits di atas menunjukkan pemahaman beliau yang sempurna tentang takdir ini. Dan itulah jiwa seorang beriman kepada takdir, ia akan menerima dengan sepenuh hati apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah kepadanya adalah yang terbaik baginya. Perhatikan nasehat indah ini: “Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan”.
Takdir Baik dan Buruk
Allah Maha Kuasa tidak akan ada yang mampu mengalahkan-Nya. Ketika seseorang tidak memahami takdir, terutama ketika ditimpa sesuatu yang tidak baik baginya maka ia akan mengeluh, menggerutu dan bahkan bisa jadi hilang kendali dalam sikapnya. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang mendapatkan takdir yang sesuai ekspektasinya, ia menjadi sombong dan merasa dirinya hebat dan mulia.
Begitulah manusia yang tidak beriman, atau ia tidak memahami dan menjiwai rukun iman yang 6 itu, ia akan memiliki perspektif berpikir yang salah dan dampaknya pun akan berperilaku dan bersikap yang salah pula. Demikianlah kisah Qarun yang diabadikan oleh Allah dalam a- Quran.
قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًاۗ وَلَا يُسْـَٔلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ
Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta) itu semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu bahwa sesungguhnya Allah telah membinasakan generasi sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Orang-orang yang durhaka itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka. (al-Qasas: 78)
Bagi orang yang beriman maka ia akan bersikap wajar-wajar saja dengan tetap bersandar kepada Allah dengan sebenarnya bersandar. Ia tidak menjadi jumawa ketika berhasil dan juga tidak terlalu bersedih hati ketika mendapatkan apa yang tidak ia harapkan. Ia meyakini bahwa semua itu merupakan takdir yang telah Allah tetapkan padanya, dan ia pun meyakininya bahwa hal itu merupakan keadaan yang terbaik baginya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang yang beriman tidak akan melakukan suatu tindakan yang kontra produktif atas apa saja yang menimpa dirinya, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Akan tetapi selalu terus berusaha istikamah menjalankan ketaatan kepada Allah tanpa harus merasa iri, dengki dan bahkan dendam terhadap kesuksesan orang lain darinya. Bahkan jika seandainya orang lain itulah yang menyebeabkan kegagalan dirinya ia pun akan terima dengan lapang dada, karena ia yakin bahwa setiap kezaliman akan dibalas dengan yang sesuai nantinya.
Free Will bagi Manusia
Setiap manusia diberikan free will atau kebebasan berkehendak oleh Allah. Itulah sebabnya manusia nantinya ditanyai akan amanah dalam kehidupannya ini. Kebebasan itulah amanah, kebebasan untuk menentukan sikap hati dan sikap diri. Hati kita bersih dan jernih atau hati kita banyak kotoran atau penyakit-penyakit hati. Semua itu bagian dari pilihan kita sendiri yang akan dimintai pertanggung jawaban.
Bagi hamba Allah yang beriman ia menyadari bahwa posisinya saat ini selalu sesuai dengan takdir Allah. Dan dalam posisi apapun saat ini ia selalu jalani dengan penuh keseriusan dalam rangka berbakti atau beribadah kepada Allah. Karena setiap kita adalah sebagai subyek atau pelaku untuk melaksanakan titah Allah sesuai dengan posisinya masing-masing. Sebagai pemimpin formal misalnya Presiden, Anggota legislative, Lembaga eksekutif, rektor, direktur, owner perusahaan dan lain sebagainya, atau pemimpin non formal misalnya kiai, gus, ustadz, takmir dan lain-lainnya, semua itu amanah yang harus dijalani dengan benar penuh tanggung jawab dengan ketawadhuan, karena ujian di dalamnya sangat berat dan pertanggung jawabannya juga tidak ringan.
Sebagai apapun kita termasuk seolah sekedar sebagai cleaning service, sebagai pasukan kuning, sebagai apapun kita sesungguhnya itulah peran kita masing sebagai hamba Allah dan bukan sekedar sebagai predikat yang melekat kepada diri kita, akan tetapi yang lebih itulah posisi yang terbaik dari Allah untuk masing-masing kita. Sehingga semua itu dijalaninya sebagai hamba yang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya penuh amanah, karena pertanggung jawabannya juga kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala.
Memahami takdir ini begitu memiliki tingkat urgensi yang sangat penting disebabkan sangat mempengaruhi perilaku dan sikap setiap hamba. Dan jika seseorang tidak memahami takdir dengan benar akan mendapatkan ancaman dengan tidak diakui oleh Rasulullah Shalllahualaihi wasallam sebagai bagian umatnya. “Barang siapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti ini maka ia bukan dari golonganku.” Wallahu a’lam (*)
Editor Mohammad Nurfatoni