PWMU.CO – Menuju Indonesia emas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Dra Elli Nur Hayati MPH PhD Psikolog mengajak mulai bergerak dari rumah.
Elli membicarakannya saat membahas cara membangun karakter Generasi Z sebagai modal Indonesia Emas 2045. Yakni pada Seminar Internasional di Auditorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Bandung, Kamis (07/03/2024). Ini termasuk rangkaian Olympicad Ke-7.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan yang aktif berkiprah di Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah itu mengimbau peserta yang menjadi guru sekaligus orangtua untuk memikirkan bagaimana agar anak-anak terhindar dari hal-hal tidak menyenangkan di masa kecil. “Kurangi faktor risiko dan kita harus menguatkan faktor protektif,” tuturnya.
Faktor risiko misalnya, orangtua perlu menghindari kekerasan dalam mendidik anak. “Semua dibicarakan dengan cara baik. Atur penggunaan gadget. Deteksi dini kesehatan health,” tuturnya.
Meski peran orangtua di rumah penting, menurutnya Muhammadiyah bisa turut ambil peran dalam ranah preventif. Misalnya dengan memberikan layanan konseling dan edukasi untuk banyak calon manten.
“Nikah itu tidak sekadar dua orang. Tapi juga kesiapan mereka mendidik anak,” ujarnya.
Karena itulah, kata Elli, perlu edukasi mengenai keluarga sakinah. Dengan langkah ini Muhammadiyah bisa membantu pasangan agar lebih siap menikah.
Ia juga menegaskan pentingnya pelayanan konseling di berbagai latar. “Kita mendukung supaya ada layanan kesehatan. Itu sudah wajib. Perlu dilakukan deteksi dini!” tegasnya lagi.
Mulai dari Rumah
Menuju Indonesia emas, Elli mengajak, “Kita harus bergerak dari rumah. Meminimalkan bagaimana pengalaman tidak menyenangkan anak. Kalau mereka sehat, akan mencapai situasi sejahtera secara psikologis.”
Elli yakin, semua dimulai dari rumah. “Yang kita alami pada masa kecil itu membentuk inner child kita. Misal kita kecil dipanggil pesek, gendut, oon. Itu yang memengaruhi self esteem, deskripsi yang menggambarkan diri kita,” jelasnya.
Ia mencontohkan, kalau anak sedari kecil menerima perkataan label bodoh dan malas maka label itu yang dia jadikan memandang dirinya. “Kadang kita bandingkan, kamu kayak kakakmu itu lho rajin,” contohnya.
Perkataan itu, sambungnya, dapat memengaruhi konsep diri anak. Termasuk ketika ada bully. “Itu menambah data base di kepala tentang siapa saya. Itu menjadikan dia ke depan jadi anak percaya diri, friendly, bermusuhan atau tidak dengan temannya,” terangnya.
Orang-orang terdekat anak, kata Elli, perlu berhati-hati dalam memberi label. Ia menyadari, orangtua sering memberi kritik atau label daripada menyampaikan hal yang baik. Misal, “Gimana sih sudah dibilang kok nggak beres.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni