PWMU.CO – Merancang rencana untuk menjalankan ibadah selama Ramadhan dengan sebaik yang diri mampu nyatanya penuh godaan. Apalagi dalam upaya merealisasikan rencananya.
Termasuk ketika berhadapan dengan pilihan kapan menjalankan shalat Tarawih. Alternatif baiknya, ikut berjamaah di awal waktu (tepat bakda Isya) atau pada sepertiga malam (waktu Tahajud, menjelang sahur).
Ahad (10/3/2024) malam menjelang Isya, pikiran mulai berkecamuk. Mampukah memulai Ramadhan 1445 ini dengan mengerjakan qiyamul lail usai bangun tidur dengan niat Tarawih?
Mampukah pergi ke masjid dini hari? Ramai tidak, ya? Ada jamaah perempuan tidak, ya? Hujan tidak, ya? Ini awal malam Ramadhan, tidak berbarengan lagi. Pasti masih sepi.
Banyak pertanyaan maupun pemikiran bergelayutan di benak. Semua itu masih saya pendam. Kalau cepat diungkap, nanti justru mendinginkan semangat orang tua yang sudah membara untuk mengawali malam Ramadhan bersama-sama di masjid pada dini hari.
Walaupun semalam sudah memasuki Ramadhan, sayangnya bisikan setan masih berseliweran. Lho, kok saya justru menyalahkan setan? Bukankah setan sudah banyak yang dibelenggu?
Saya semakin yakin iman saya masih longgar. Perlu benar-benar berusaha keras untuk menepis aneka bisikan yang melemahkan langkah shalat berjamaah di masjid.
Kembali lagi saya berusaha menguatkan diri. Ini masih awal Ramadhan. Kalau awal sudah kalah dengan setan, bagaimana hari-hari selanjutnya?
Meski memulai tak sesulit mempertahankan, tapi memulai juga menjadi barometer penting. Sebab dapat mengukur ketaatan sejauh ini, melayang bersama angin atau masih komitmen jalankan rencana terbaik bersama-Nya.
Akhirnya dengan basmalah, saya mantapkan niat untuk ikut menghidupkan masjid di sepertiga malam pertama Ramadhan. Mukenah lama yang bersih saya ambil di lemari. Meski tidak baru, setidaknya warna putihnya masih menunjukkan mukenah ini layak dipakai di rumah-Nya.
Al-Quran sengaja tak saya bawa sebab saya percaya di masjid yang saya tuju menyediakannya. Beberapa lembar tisu saya selipkan di tas kantong mungil yang hanya cukup untuk menampung bawahan mukenah. Malam yang dingin biasanya memantik pilek.
Qadarullah, menjelang berangkat pukul 01.45 WIB, ibu mengeluh sakit punggung sehingga tak memungkinkan ikut pergi ke masjid. Namun senyumnya mengizinkan dan mendorong saya untuk tetap melangkah, mewujudkan niat awal. Mumpung Allah memberikan nikmat sehat, katanya.
Dominan Usia Senja
Saya tiba di Masjid Faqih Usman Universitas Muhammadiyah Gresik bersamaan dengan tiga jamaah lainnya. Ternyata malam pertama Ramadhan sudah cukup ramai. Ibu-ibu berusia senja datang bersama pasangannya, ada pula yang bersama anaknya.
Pertanyaan saya terjawab. Masjid kampus Muhammadiyah di Kota Pundak itu cukup ramai dengan lantunan bacaan Quran dari shaf putra maupun shaf putri. Jamaahnya banyak dari warga sekitar.
Baru melangkah sekitar lima langkah memasuki masjid, senyum hangat sosok yang saya kenal menyambut. Seorang perempuan paruh baya yang sudah menggunakan mukenah duduk di kursi kecil untuk shalat. Beliau salah satu takmir masjid, ibu sahabat saya yang kini di perantauan. Alhamdulillah kami bersilaturahmi setelah setahun tak berjumpa.
Usai salim, saya lanjut masuk masjid yang sudah ada enam jamaah perempuan di dalamnya. Kalau jamaah laki-laki sudah hampir satu shaf, hanya posisi mereka berpencar.
Alhamdulillah, banyak Muslim yang memulai Ramadhan dengan Tarawih di sepertiga malam. Untuk jamaah laki-laki, shaf satu plus sepertiga shaf dua terisi. Sementara untuk jamaah perempuan, akhirnya terisi sepertiga shaf pertama.
Dibanding Ramadhan tahun kemarin, yang berubah hanya wajah masjid ini yang semakin megah. Pembangunan dua lantai telah usai. Dindingnya sudah dari kaca dengan karpet tebal hijau nan wangi menutupi lantai marmer. Sejuknya AC lengkap bikin nyaman meski akhirnya dua lembar tisu terpakai karena pilek.
Selebihnya tak ada yang berbeda. Ibu-ibu dan bapak-bapak berusia senja tetap semangat membagikan nasi bungkus untuk sahur usai qiyamul lail berjamaah. Ada jamaah yang lanjut sahur di sana sambil menunggu waktu Subuh tiba, sambil lanjut tadarus ataupun sejenak memejamkan mata. Ada yang lanjut sahur di rumah bersama keluarga tercinta.
Sungguh pemandangan dini hari di bulan Ramadhan yang indah. Selanjutnya lebih menantang: menjaga istikamah. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni