Beda Siam dengan Saum; Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال, قالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: قالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له، إلَّا الصِّيَامَ؛ فإنَّه لي، وأَنَا أجْزِي به، والصِّيَامُ جُنَّةٌ، وإذَا كانَ يَوْمُ صَوْمِ أحَدِكُمْ فلا يَرْفُثْ ولَا يَصْخَبْ، فإنْ سَابَّهُ أحَدٌ أوْ قَاتَلَهُ، فَلْيَقُلْ: إنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. والذي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِن رِيحِ المِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إذَا أفْطَرَ فَرِحَ، وإذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بصَوْمِهِ. متفق عليه
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah Ta’ala telah berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya. Dan puasa itu adalah perisai, maka apabila suatu hari salah seorang dari kalian sedang melaksanakan puasa, maka janganlah ia berkata keji nan kotor, serta bertengkar nan berteriak-teriak. Jika ada orang lain yang menghinanya atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia katakan “Aku sedang puasa.” Dan demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang puasa lebih harum di sisi Allah Ta’ala daripada harumnya minyak misik. Dan untuk orang yang puasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu apabila ia berbuka, pasti ia bahagia dan apabila berjumpa dengan Rabbnya, ia pun akan bahagia disebabkan ibadah puasanya. (HR Bukhari dan Muslim)
Saum dan Siam
Al-Quran sebagai wahyu dari Allah yang merupakan kalamullah atau firman Allah senantiasa menyampaikan rahasia-rahasinya yang menunjukkan keagungan al Quran sebagai mukjizat terbesar. Diksi yang digunakan selalu sesuai dengan kandungan makna di dalam setiap lafadz atau kata-katanya. Termasuk di dalamnya adalah kata siam dan saum, dua kata kata ini bersumber dari kata yang sama yaitu shama yashumu sahuman wa shiyaman yakni sama-sama sebagai isim masdar, isim fa’il atau pelakunya sama yaitu shaim yakni orang yang berpuasa.
Para ulama memberikan kesimpulan bahwa makna saum lebih ke arah menjaga lisan dari perkataan yang tidak jujur, tidak baik dan berdusta. Di dalam al-Quran dijumpai hanya satu ayat saja yang menjelaskan makna saum ini, yaitu ketika Allah memerintahkan kepada Maryam untuk puasa berbicara.
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ ٢٦
Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Maryam: 26)
Dalam ayat di atas menggunakan kata shaum yang berarti menahan untuk tidak berbicara dengan siapa pun. Dalam hadits di atas juga ketika berhubungan dengan bau mulut orang yang berpuasa juga menggunakan lafadz shaum bahwa bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari minyak misik. Hal ini menunjukkan bahwa perkataan yang baik, jujur itu menjadikan bau mulut seseorang menjadi wangi. Kata-kata yang lembut dan penuh bijak bestari merupakan kalimat yang menyejukkan bagi pendengarnya. Dan sebaliknya kata-kata yang kotor menjadikan orang tersebut bau mulutnya menjadi busuk.
Sedangkan kata siam di dalam al-Quran kurang lebih disebut sebanyak 9 kali. Siam menurut ulama’ memberikan makna untuk meninggalkan makan dan minum dan berhubungan badan, sebagaimana dalam bulan Ramadhan ini.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ١٨٣
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (al-Baqarah: 183)
Dengan demikian siam dan shaum memiliki makna berdekatan, hanya memiliki perbedaan pada fungsi kegunaannya. Seseorang yang sedang shiam hendaknya juga menjalankan saum, hal ini berarti bahwa orang yang sedang menjalankan siam hendaknya juga menjalankan saum, karena keduanya saling terkait dan terikat.
Siam untuk tidak makan dan minum dan berhubungan badan dimulai dari terbitnya fajar yakni waktu Subuh sampai saat matahari terbenam atau waktu Maghrib, dengan disertai niat sebelum menjalankannya. Maka tentu sebagai seorang mukmin yang sedang menjalankan shiam maka sekaligus hendaknya menjalankan shaum yakni juga menahan perkataannya dari hal-hal yang tidak baik, menyinggung perasaan orang lain, menyampaikan kebohongan dan seterusnya.
Karena shiam yang tidak dibarengi dengan shaum tidak akan memberikan dampak apa-apa bagi pelakunya. Sebagaimana hadits nabi yang menjelaskan hal ini.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, juga berperilaku seperti perilaku orang-orang bodoh, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR Bukhari)
Dengan demikian shiam dan saum adalah sesuatu yang saling melengkapi, bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Agar saum dapat dijalankan maka hendaknya seorang melakukan siam, dan seseorang yang siam hendaknya juga melakukan shaum. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni