Puasa sebagai Ekspresi Kemanusiaan; Oleh Kumara Adji Kusuma; Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) dan menambahkan Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sidoarjo.
PWMU.CO – Dalam kisah yang disampaikan al-Quran tentang dimulainya kehidupan dunia, Allah memerintahkan manusia, Iblis, dan setan untuk turun/keluar dari Surga (al-Baqarah: 38). Manusia turun untuk memenuhi takdirnya sebagai khalifah Allah di Bumi (30) dan Iblis-setan keluar untuk menjadi musuh abadi bagi manusia (al’A’raf: 12-18).
Sebagai khalifah (wakil/pengganti) Allah di Bumi, Allah menjanjikan kepada manusia dengan kelengkapan perangkat kehidupan berupa petunjuk “Langit” sehingga siapa pun anak keturunan Adam yang menerima petunjuk-Nya maka tidak ada rasa takut dan rasa sedih (al-Baqarah: 38). Petunjuk ini merupakan hikmah Allah karena salah satu sifat manusia yang bisa tergelincir atas bujuk rayu setan (al-Baqarah: 36) dan Iblis.
Janji itu diwujudkan Allah hingga pada setiap generasi keturunan Adam. Pada setiap umat di setiap zaman, ada Nabi yang diutus untuk membawa petunjuk-Nya. Ya, dalam Islam, keyakinan bahwa Allah mengirim seorang nabi kepada setiap umat (kaum) adalah ajaran yang fundamental (an-Nahl: 36; Yunus :47). Fundamental, karena petunjuk ini nilai dasar keyakinan, dan setiap wahyu yang turun selalu membawa perubahan besar di masyarakat.
“Setiap nabi menerima petunjuk Allah yang menjadi risalah kehidupan. Dalam konteks ini, risalah tersebut menjadi aturan hukum yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentang ibadah dan muamalah.”
Tidak heran jika Prof Ziaul Haque, dalam Wahyu dan Revolusi membahas bagaimana wahyu Islam memengaruhi atau dapat menjadi dasar bagi revolusi atau perubahan positif dalam masyarakat Muslim, baik dalam hal pemikiran, nilai, atau tindakan. Karena setiap nabi kemudian melakukan “perlawanan” terhadap berbagai tindak kejahatan, kezaliman, kekejian, kemaksiatan, terutamanya kemusyrikan.
Dalam bentangan sejarah, para nabi dan rasul Allah telah menunjukkan bagaimana wahyu yang diterimanya mewajibkan dirinya untuk melakukan perubahan-perubahan yang fundamental dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam kondisi normal pascakemenangan sang Nabi, mewujudlah syariah bagi masyarakatnya. Dan dalam beberapa waktu setelah sepeninggal nabinya, kemudian terdapat penyimpangan-penyimpangan fundamental hingga menjadi ajaran, doktrin, agama yang berbeda dari ajaran nabinya. Kemudian Allah mengirimkan kembali utusan-Nya untuk meluruskan penyimpangan tersebut. Demikian seterusnya hingga Rasul terakhir.
Syar’u Man Qablana
Dalam usul fikih ada istilah “syar’u man qablana.” Secara harfiah diterjemahkan sebagai “hukum bagi umat sebelum kita”. Konsep ini merujuk pada keyakinan dalam Islam bahwa setiap umat sebelum umat Islam juga menerima petunjuk dan perintah dari Allah melalui nabi-nabi yang diutus kepada mereka.
Setiap nabi menerima petunjuk Allah yang menjadi risalah kehidupan. Dalam konteks ini, risalah tersebut menjadi aturan hukum yang mengikat manusia dalam kehidupan sehari-hari, tentang ibadah dan muamalah. Risalah terakhir yang diterima manusia adalah disampaikan kepada Rasul Muhammad SAW. Berbagai syariah sebelumnya, setelah disampaikannya wahyu kepada nabi penutup, menjadi mansukh (terbatalkan).
Dalam konteks “syar’u man qablana,” terdapat pemahaman bahwa beberapa hukum atau peraturan yang diberikan kepada umat-umat sebelum umat Islam telah dibatalkan atau digantikan oleh hukum-hukum Islam yang baru. Ini terjadi karena Allah mengirimkan wahyu yang baru kepada umat Islam melalui Nabi Muhammad SAW, yang dalam beberapa kasus bisa berbeda dengan hukum yang berlaku untuk umat-umat sebelumnya.
“Dalam konteks pemahaman Islam, syar’u man qablana menunjukkan penghormatan terhadap umat-umat sebelumnya yang telah menerima ajaran dari Allah melalui nabi-nabi mereka.”
Namun, tidak semua hukum atau peraturan dalam agama-agama sebelum Islam secara otomatis dianggap sebagai mansukh dalam Islam. Beberapa prinsip atau hukum yang universal atau sesuai dengan ajaran Islam dapat dipertahankan dan diakui sebagai bagian dari kebijaksanaan Allah yang diberikan kepada umat-umat sebelumnya. Oleh karena itu, pembahasan mengenai apakah hukum terdahulu menjadi mansukh dalam Islam akan sangat tergantung pada konteks dan kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an serta hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang berkaitan.
Dalam konteks pemahaman Islam, syar’u man qablana menunjukkan penghormatan terhadap umat-umat sebelumnya yang telah menerima ajaran dari Allah melalui nabi-nabi mereka. Ini juga menegaskan bahwa meskipun agama-agama sebelum Islam telah menyimpang sehingga memiliki perbedaan dalam ajaran dan praktik, namun ada elemen-elemen kebenaran dalam ajaran mereka yang diterima sebagai bagian dari ketetapan ilahi. Ini sejalan dengan prinsip bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran-ajaran sebelumnya.
Beberapa elemen ajaran sebelumnya yang diterima sebagai ketetapan Ilahi seperti tauhid, ditegaskan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 21, bahwa Allah memerintahkan manusia untuk menyembah Allah seperti orang-orang sebelum kita agar kita menjadi orang yang bertakwa. Demikian juga halnya syariah yang masih tetap berlangsung yakni puasa. Diwajibkan kepada orang beriman berpuasa seperti halnya diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita; agar kita menjadi orang yang bertakwa (al-Baqarah 183).
Puasa Islam dan Visi Ahsani Taqwim
Agama-agama selain Islam, masih mengandung beberapa kebenaran Islam yang masih berlaku. Karena memang itu adalah ajaran Nabi Allah yang masih tersisa dalam agama tersebut. Tidak heran jika kemudian Puasa menjadi praktik spiritual yang umum dilakukan oleh banyak agama, termasuk Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lainnya. Praktik puasa dalam agama-agama selain Islam dapat bervariasi, tetapi intinya seringkali hanya melibatkan pengendalian diri, refleksi spiritual, dan pengorbanan diri.
Dalam konteks Islam, puasa merujuk pada praktik menahan diri dari makan, minum, dan perilaku tertentu dari terbit fajar hingga terbenam matahari, yang diwajibkan selama bulan Ramadan, maupun pada momen lainnya. Namun tidak seperti agama lainnya, dalam Islam puasa tidak hanya sebagai bentuk ibadah untuk pembersihan diri, atau pengorbanan pribadi dalam rangka mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri, namun juga berdimensi sosial yakni dengan penyempurnaannya berupa zakat fitrah yang berdimensi sosial; yang secara keseluruhan untuk menguatkan ikatan diri dengan Allah SWT.
“Puasa adalah cara untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang sifat kemanusiaan kita, serta untuk mencapai pencapaian tertinggi dalam spiritualitas, moralitas/humanitas.”
Hal inilah yang kemudian dalam konteks ini, puasa dianggap sebagai cara untuk memperkuat sifat-sifat manusiawi yang positif. Ini bisa mencakup peningkatan empati, rasa solidaritas dengan mereka yang kurang beruntung, dan meningkatkan kesadaran akan kebutuhan spiritual seseorang. ini bisa berarti mengembangkan diri seseorang ke arah yang lebih baik, baik secara spiritual maupun moral kembali kepada fitrah yang merupakana ahsani taqwim, kembali kepada konsep penciptaan makhluk yang terindah, sempurna.
Ahsani taqwim adalah sebuah frase dalam bahasa Arab yang terdapat dalam Surah At-Tin 4. Ayat ini mengatakan: “Kami sungguh telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Frase ahsani taqwim secara harfiah diterjemahkan sebagai “penyempurnaan penciptaan” atau “penciptaan yang paling indah”. Dalam konteks ayat ini, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sangat baik dan sempurna. Ayat ini menggambarkan keagungan dan keindahan penciptaan manusia oleh Allah, yang menciptakan manusia dengan segala keunikan dan potensi yang dimilikinya.
Frase ahsani taqwim juga sering kali diartikan sebagai penciptaan manusia dengan proporsi yang seimbang dan desain yang indah lahir dan batin. Hal ini menekankan betapa manusia diciptakan dengan perhatian dan kelembutan yang luar biasa oleh Allah. Ayat ini juga menyoroti tanggung jawab manusia untuk menghargai dan memelihara keindahan penciptaan Allah serta untuk hidup sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan-Nya.
Dengan menggabungkan semua itu, ini menyiratkan bahwa puasa adalah cara untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang sifat kemanusiaan kita, serta untuk mencapai pencapaian tertinggi dalam spiritualitas, moralitas/humanitas. Ini juga mengacu pada konsep bahwa puasa memainkan peran penting dalam memperbaiki diri dan sesama yang secara keseluruhan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Puasa sebagai Ekspresi Kemanusiaan
Puasa adalah aktivitas manusia yang sengaja dilakukan, dan hanya bisa dilakukan oleh manusia, tanpa tekanan dan dengan kesadarannya. Apa yang membedakan manusia dengan makhluk lain, hewan, adalah pada kemampuan untuk berpikirnya. Kemampuan berpikir ini merupakan bagian dari ahsani taqwim. Kemampuan berpikir ini dibuka oleh Allah ketika Allah mengajarkan Adam nama-nama, semuanya (al-Baqarah: 31). Sejak itulah manusia menjadi makhluk yang menggunakan simbol.
Dari nama-nama yang dipelajari, maka manusia bisa berbicara dengan merangkai nama-nama dalam pikiran yang kemudian terekspresikan menjadi kata-kata secara verbal. Lebih lanjut, dari nama-nama itu, kemudian manusia bisa merangkai kalimat, serta membentuk logika. Dari kalimat-kalimat itu menjadi paragraf yang memiliki makna hingga kemudian menjadi ide-ide yang kreatif dan mewujudkan teknologi. Inilah hikmah mengapa Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam untuk membuka pikiran manusia untuk membentuk sistem kehidupan.
Kemampuan berpikir ini yang juga secara otomatis memutuskan mekanisme rantai aksi-reaksi kehewanan manusia; menjadi hayawanun nathiqun atau hewan yang berpikir. Jika kita perhatikan hewan, proses yang terjadi adalah aksi reaksi. Artinya jika ada suatu aksi, maka hewan akan langsung mereaksi. Manusia berbeda. Saat terjadi aksi, maka manusia akan melakukan jeda dan berpikir untuk memilih reaksi yang akan dipilihnya melalui proses pikirannya, tanpa melalui mekanisme instingtif.
Kemampuan berpikir manusia yang tertinggi adalah pencapaiannya pada pengetahuan tentang eksistensi keilahian, Allah SWT. Namun juga bahwa kesadaran atas keberadaan Tuhan dinisias oleh wahyu yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul-Nya.
“Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya untuk berpuasa sebagai ekspresi kemanusian. Termasuk sebagai ungkapan perayaan dalam Islam.”
Dalam konteks ini, kesadaran tertinggi tersebut merupakan afirmasi dan konfirmasi atas sesuatu yang telah ada dalam diri manusia itu sendiri, tentang mitsaqan ghalidhah atau perjanjian kokoh (Ali Imran: 81 dan al-A’raf:172) di mana Allah menggambarkan perjanjian yang diambil-Nya dari manusia di alam praketuhanan, yang mencakup kewajiban manusia untuk mengakui keesaan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya.
Aktivitas berpuasa yang dilakukan oleh seorang Mukmin adalah bukti kemampuan manusia untuk tidak mengikuti hawa nafsunya. Saat dia lapar dan dahaga, tidak langsung kemudian memilih untuk makan dan minum. Bahkan menahannya. Lebih jauh, memilih untuk melakukan refleksi atas penderitaan orang lain dalam bentuk simpati dan empati terhadap sesama yang kurang beruntung yang kemudian mewujudkan tindakan berbagi atau bersedekah. Secara keseluruhan tindakan ini merupakan ekspresi seorang menusia untuk mengikuti petunjuk sang Ilahi.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan umatnya untuk berpuasa sebagai ekspresi kemanusian. Termasuk sebagai ungkapan perayaan dalam Islam. Perayaan dalam hal ini bermakna menyambut, membesarkan, mengagungkan, merayakan. Seperti halnya puasa Ramadan adalah perayaan karena menyambut bulan suci-mulia, rahmat, pengampunan dosa. Seperti halnya puasa 10 Muharam yang merayakan saat umat Nabi Musa bebas dari Firaun, Nabi Yunus keluar dari mulut ikan, Nabi Adam bertemu Siti Hawa, dan seterusnya. Demikian halnya dengan Nabi Muhammad SAW yang merayakan hari Senin dengan berpuasa karena menjadi hari kelahiran Beliau.
Nabi Muhammad merayakan hari lahirnya dengan puasa setiap hari Senin. “Sesungguhnya aku dilahirkan pada hari Senin, dan pada hari Senin pula diturunkan wahyu kepadaku.” Nabi merayakan hari lahirnya dengan puasa, bukan dengan makan-makan atau pesta pora, tetapi dengan puasa.
Banyak puasa dalam Islam adalah untuk perayaan yang secara spiritual mendekatkan diri kepada Allah, meski pula ada juga perayaan dengan jamuan yang sifatnya kultural (hablunminannas) seperti pernikahan, akikah, khitanan, dan sebagainya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni