Dari Ramadhan ke Ramadhan, Apa Hasil dari Puasa Kita? Oleh drh Zainul Muslimin, Bendahara Pimpinan Wiayah Muhammadiyah Jawa Timur
PWMU.CO – Ramadhan datang lagi, alhamdulillah! Pertanyaannya berapa kali kita masuk dan keluar dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya atas karunia-Nya, apa hasilnya?
Pertanyaan ini saya anggap penting terkait dengan evaluasi yang mesti kita lakukan terhadap semua aktivitas, semua aksi, semua amaliah yang kita lakukan. Bukan sekadar berapa kali kita menahan lapar dan haus atau berapa bulan kita harus belajar sabar atau berapa juz al-Quran yang telah kita baca. Lebih dari itu makna apa yang bisa kita tangkap, hikmah apa yang bisa kita peroleh serta perubahan apa yang terjadi pada diri kita.
Coba kita sejenak merenung dan berhitung berapa usia kita saat ini serta berapa usia baligh kita dimulai. Jika usia kita saat ini sekitar 40 tahun dan usia baligh kita saat 10 tahun maka kita telah melalui dan melaksanakan syari’at berpuasa sebagaimana kewajiban yang memang mesti kita lakukan yaitu selama 30 tahun.
Belum lagi jika usia kita 50 tahun maka kita telah melaksanakan puasa 40 kali Ramadhan selama 40 tahun. Begitu pun ketika usia kita 60 tahun maka kita telah berpuasa 50 kali di bulan Ramadhan selama 50 tahun.
Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan hebatnya kwalitas diri orang-orang yang mendapatkan karunia bisa berpuasa di bulan Ramadhan tersebut. Orang-orang yang lolos dan lulus dalam menjalankan ibadah puasanya menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.
Bertakwa, bertakwa, bertakwa, dan bertakwa kepada Allah. Orang yang bertakwa itu orang-orang yang suka berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit, orang yang bisa menahan dan mengendalikan amarahnya (enggak ngamukan) serta orang-orang yang suka memaafkan saudaranya.
Betapa indah dan nikmat kehidupan anak bangsa di negeri ini ketika dihuni sekitar 200 jutaan lebih dari penduduk muslim negeri ini yang menjalankan syariat berpuasa serta puasanya berhasil mengantarkan mereka menjadi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.
Jika masih ada marah berjamaah, korupsi berjamaah, dan manipulasi berjamaah maka bisa berarti puasa kita belum lulus.
Apakah puasa kita bisa membangun karakter bangsa yang ‘loman’, yang dermawan? sepertinya ya, karena setidaknya sudah ada bukti bahwa negeri dan bangsa ini menjadi negara paling dermawan di dunia. Negara paling dermawan tetapi anehnya penduduk miskinnya masih banyak, juga penduduk miskin ekstremnya. Jumlah yang berdonasi besar atau banyak tapi mungkin nilainya yang kurang banyak.
Mungkin jumlah penduduk yang berdonasi jumlahnya sudah cukup besar tapi bukankah hanya segelintir orang saja yang menguasai ekonomi, setidaknya terlihat di data bahwa hanya satu atau dua orang saja orang-orang yang dikaruniai-Nya kemewahan dan kelimpahan harta serta punya kewajiban membayar zakat.
Harus Ada Azam
Agar tidak sekadar membayar infak, sedekah, dan zakat sesuai dengan kapasitas kemampuan sekadar yang kita miliki maka semestinya ada ‘dendam’ dalam diri, harus ada azam yang kuat bahwa kita bisa infak, bisa zakat dalam jumlah miliaran bahkan triliunan, insyaallah.
Harus ada azam bahwa setiap tahun zakat dan sedekah kita terus meningkat, semakin besar, dan semakin besar.
Harus ada kesungguhan untuk masuk dan menekuni bidang-bidang yang memberikan akses ekonomi cukup besar dan luas. Harus berani terjun berkompetisi di gelanggang ekonomi yang selama ini kita abaikan. Apalagi jika memegang erat jargon bahwa dunia bisnis dan ekonomi itu kotor penuh tipu muslihat dan ketidakjujuran. Maka bidang-bidang tersebut akan diisi oleh orang lain. Celakanya diisi oleh orang-orang yang tidak punya kewajiban untuk berzakat.
Cobalah kita introspeksi diri, berhitung, dan mengevaluasi diri wujud dan bukti kelulusan kita di bulan Ramadhan ini. Yakni menjadi orang yang bertakwa kepada Allah khususnya terkait dengan suka berinfak dalam lapang maupun sempit itu ada wujud nyatanya serta semakin tahun semakin meningkat. Bukan malah di bulan Ramadhan ini kita malahan mengeruk dan menumpuk sebanyak-banyaknya. Di mana semestinya justru harus lebih banyak berbagi dan lebih peduli. Bukankah semua yang ada pada kita ini titipan Illahi Rabbi? Bukankah semua yang ada pada kita ini hadza min fadhli rabbi
Maka jangan heran dan jangan mudah mencibir dan membully jika di bulan Ramadhan itu kita lebih konsumtif. Konsumsi kebutuhan pokok meningkat tajam karena begitu banyaknya orang-orang yang suka berbagi berbuka serta berbagi kebutuhan pokok.
Cari sebanyak-banyaknya, manfaatkan sekadarnya, dan secukupnya serta kita bagi se-banyak-banyaknya semaksimalnya.
Tetap semangat berbagi manfaat. Bismillah
Editor Mohammad Nurfatoni