PWMU.CO – Demokrasi Indonesia yang berkembang sekarang ini tidak sesuai dengan cita-cita sebagaimana yang dirumuskan pendiri bangsa.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dan pengamat politik Eep Saefulloh Fatah.
Keduanya menjadi narasumber dalam Kajian Ramadhan PWM Jatim di Universitas Muhammadiyah (Umsida), Sabtu (16/3/2024).
Haedar mengatakan, sistem politik Indonesia pasca reformasi jauh berbeda dengan sila keempat Pancasila.
Dia mengatakan pada sila keempat, di situ ada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, murni diganti dengan sistem politik demokrasi liberal.
“Konsep musyawarahnya hilang, konsep kebijaksnaannya hilang, perwakilannya juga hilang. Ya itu pilihan. Reformasi kan sudah memilih itu. Nyabutnya juga susah. Sistem politiknya sudah mengunci seperti itu,” katanya di Aula Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida).
Inilah, tekannya, yang dinamakan amanat yang bersifat value, bersifat nilai. Secara normatif, amanahnya lebih besar untuk membangun. “Jangan merusak setelah membangun,” ujarnya.
Pendiri bangsa, kata dia, termasuk dari Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara.
Artinya, Pancasila sebagai nilai dasar menjadi beban dan tanggung jawab dan kewajiban bagi para penyelenggara negara untik diwujudkan, setidak-tidaknya menjadi acuan berperilaku dan mengambil kebijakan.
“Ini praktiknya tidak mudah, memang,” tambahnya di hadapan jajaran PWM Jawa Timur, Pimpinan Daerah Muhammadiyah dan Aisyiyah (PDM-PDA) se-Jatim; serta Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), organisasi otonom (Ortom), dan Majelis dan Lembaga PWM se-Jatim.
Senada dengan Haedar, CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah menyampaikan demokrasi kita sekarang ini bukan yang dicita-citakan tapi yang terbentuk oleh sejarah dan menghasilkan demokrasi yang cacat.
Akibatnya susah mencari pemimpin pada enam kali Pemilu Legislatif yang sudah berlangsung pada 1999, 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024 dan lima kali Pemilihan Presiden dari 2004-2024; lima kali pemilihan anggota DPD atau senator dari 2004-2024; dan lima kali pemilihan kepala daerah, kecuali di Yogyakarta, 5 kota di Jakarta dan 1 kabupaten di Jakarta.
“Jadi salah satu kegagalan dari demokrasi kita, karena cacat dan cederanya itu, belum berhasil menjamin didapatkannya pemimpin yang amanah itu. Termasuk Jokowi,” katanya.
Menurut dia, tidak amanahnya Jokowi bisa dilihat berdasarkan jejaknya ke belakang. “Insyaallah ini tidak mengurangi pahala Ramadhan ya Pak Yai,” candanya.
“Sejauh mana prasyarat kita bisa rawat, seberapa jauh sarananya kita miliki, seberapa jauh tujuan bisa tercapai,” uraiannya.
Kembali Haedar Nashir mengatakan amanat kedua yaitu amanat sejarah. Apakah pemimpin bangsa Indonesia benar-benar menghayati sejarah perjuangan bangsa Indinesia, ratusan tahun untuk merdeka?
Pemahaman sejarah memang perlu pengetahuan atau kognisi, tetapi penghayatan sejarah itu memerlukan rasa, memerlukan hati. “Coba kalau pemimpin bangsa dari pusat sampai bawah menghayati betul betapa nenek moyang kita telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan. Apakah mereka menghayati betul amanat sejarah ini?” tanyanya retoris.
Sampai di Muhammadiyah juga. Betapa susah KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sampai sakitpun beliau masih berjuang. Dia pernah berpesan, “Saya harus menuntaskan tugas yang sangat berat ini yang apabila tidak saya tuntaskan maka akan berat tanggung jawab penerus saya,” tirunya.
Amanat ketiga yaitu konstitusi. Tugas pemimpin nagara itu kan melekat pada sistem negara. Yaitu untuk melindungi seleruh tumpah darah dan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan perdamaian dunia.
“Tapi manusia itukan entah kekurangan atau kelebihan, konstitusi sehebat apapun akan selalu dicari celah atau akal untuk menyiasatinya. Bahkan dalam beberapa hal orang memiliki sikap menghindar atau mencari jalan yang mudah. Lagi-lagi kuncinya di moral pemimpin bangsa,” katanya.
Agar kita taat konstitusi, lanjutnya, kita harus paham konstitusi juga harus ada kesediaan jiwa kenegarawan untuk tegak luruh di atas konstitusi. “Tapi tegak luruh sekarang hanya menjadi diksi popular saja oleh elit polkitik,” ungkapnya. (*)
Penulis Ichwan Arif dan Sayyidah Nuriyah Editor Sugeng Purwanto