PWMU.CO — Presiden Joko versus Presiden Widodo menjadi kupasan menarik yang disampaikan pendiri sekaligus CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah dalam Kajian Ramadhan 1445 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur di Umsida, Sabtu (16/3/2024).
Dia bercerita, pada saat Jokowi baru seratus hari memerintah dengan Jusuf Kalla tahun 2014, ia menulis kolom di Tempo berjudul Joko Versus Widodo.
“Saya pada waktu itu membayangkan, setiap pemimpin sebetulnya mengalami pertarungan paling sengit di dalam dirinya,” kata Eep.
Pertarungan paling sengit pada setiap orang, menurutnya, ketika harus mengalahkan tirani yang bercokol di kepalanya.
“Di otaknya dia sudah tahu itu benar, tapi sebagian orang minta dia melakukan hal lain yang sebetulnya salah. Akhirnya orang itu menyesuaikan diri dengan yang salah,” ungkapnya.
Yang benar, lanjut Eep, dia pertahankan pendapatnya tidak mengikuti orang yang salah. “Itulah yang disebut gagal melawan tirani yang bercokol di kepala sendiri,” tandasnya.
Kalau itu skala pribadi, Eep mengatakan, dampaknya terbatas. Ia mengungkap prinsip pemimpin, “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra’iyyatihi.”
Artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”
Dia menegaskan, dampaknya berbeda pada setiap skala kepemimpinan. Pada pemimpin negara dampaknya bisa besar.
Harapan Versus Kecemasan
Kembali kepada tulisan Eep, dia menyampaikan, pada periode pertama 2014-2019, dia menyebutnya sebagai periode Presiden Joko. “Periode 2019-sekarang, saya sebut sebagai periode Presiden Widodo,” ujarnya.
Dari sini Eep menyimpulkan, “Joko mewakili harapan kita, Widodo mewakili kecemasan kita. Ternyata kecemasan yang menang melawan harapan.”
Terkait ini, menurutnya banyak gejala yang terlihat. “Misal, pada periode pertama ketika Presiden Joko membentuk kabinet, maka daftar calon diajukan ke KPK.”
KPK memeriksa daftar nama itu dan memberi warna hijau, kuning, dan merah. Bahkan kemudian dibocorhaluskan ke publik siapa yang mendapat warna itu.
“Sehingga ketika Jokowi mengumumkan kabinetnya, orang tahu bahwa ada seleksi berbasis integritas,” lanjutnya.
Di awal 2019, Presiden Widodo merevisi Undang-Undang KPK dan membuat KPK tidak lagi punya kekuasaan sebesar sebelumnya. “Ketika merekrut menteri kabinet, tidak ada lagi pelibatan KPK dalam catatan atau record untuk setiap orang itu,” imbuh Eep.
Ia teringat, di periode pertama, ada beberapa menteri yang membocorkan kepadanya, dalam sidang kabinet pertama dipimpin oleh Presiden Joko waktu itu, presiden membuat pernyataan yang isinya, “Saudara-saudara para menteri yang menjadi pengurus partai politik harus mengundurkan diri.”
Salah satu menteri bertanya, “Pak Presiden apakah itu termasuk saya yang wakil ketua umum di partai saya?”
Presiden Joko tidak menjawab pertanyaan itu tapi mengulang pernyataannya. Kata Eep, dasar perintah itu ialah ketika seseorang menjadi pejabat negara, maka loyalitasnya yang sempit harus diakhiri. “Semua potensi konflik kepentingan harus dihilangkan,” imbuhnya.
Akhirnya, Wiranto mengundurkan diri dari partai yang didirikannya karena terpilih sebagai Menko Polhukam. Kemudian partainya direbut orang lain dan Wiranto tersingkir.
“Tapi dalam periode Presiden Widodo makin ke sini, presiden senang mengumpulkan ketua umum partai menjadi menterinya. Karena dengan cara itu maka de facto, presiden adalah ketua dewan pembina pada semua partai koalisi. Konflik kepentingan bukan dihindari, dilembagakan,” ungkapnya.
Inilah yang menurutnya periode harapan diganti periode kecemasan.
Adapun periode kedua, periode kecemasan, menurut Eep ditandai dengan kemampuan Presiden Widodo dalam membangun loyalitas politik dari banyak pihak secara unik.
“Ada dua jenis loyalitas. Pertama, loyalitas insentif. Orang diberi sesuatu, orang dipenuhi kebutuhannya, bahkan bukan hanya cukup tapi berlebih, dan dibiarkan untuk makin melebih-lebihkan dibanding yang dibutuhkan,” terangnya.
Dibanding dengan dua presiden hasil pemilihan langsung, menurutnya, pemberian jatah atau insentif pada mereka yang terlibat sebagai tim pemenangan presiden jauh lebih menonjol pada Presiden Joko dan Widodo ini. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Sugeng Purwanto