pwmu.co, Alhamdulillah perkembangan amal usaha Muhammadiyah di seluruh tanah air berkembang pesat. Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) menurut data terakhir bahkan bertambah, jumlahnya menjadi 183 PTM. Di luar lembaga pendidikan, Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi juga bertumbuh dengan baik.
Perkembangan AUM yang pesat tentu perlu disyukuri sebagai anugerah Allah atas segala ikhtiar seluruh pihak di Persyarikatan dalam membangun dan mengembangkannya. Tingkat perkembangan memang beragam, dari yan kecil dan menengah hingga yang besar. Semua merupakan hasil jerih payah semua unsur di dalam Persyarikatan, yang menunjukkan kemandirian Muhammadiyah.
Jangan pernah meremehkan keberadaan dan pertumbuhan AUM, meski diakui masih banyak yang belum maju dan belum maksimal. Apapun AUM merupakan hasil keringat Muhammadiyah sendiri, yang pihak lain belum tentu mampu melakukannya dengan semangat kemandirian. Mungkin ada pihak lain yang mendirikannya melalui jalur politik jalan pintas yang menghalalkan segala cara sehingga cepat tumbuh, tetapi kerja seperti itu bukan watak Muhammadiyah.
Bicara teori dan utopia tentu mudah, tetapi membangun peradaban itu bukan dari kata-kata belaka, tidak kalah pentingnya melalui amaliah nyata. Tak perlu AUM pula dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial yang didirikan para pemilik modal raksasa karena Muhammadiyah tidak berangkat dari modal seperti itu. Melalui AUM yang mandiri Muhammadiyah memiliki modal sosial yang kuat untuk memberdayakan umat serta menjadi pilar strategis bangsa.
Kini yang diperlukan ialah meningkatkan dan mengembangkan kualitas, di samping kuantitas, sehingga AUM makin berdaya saing tinggi, mandiri, dan berkeunggulan. Sebagai bagian dari ikhtiar meningkatkan kualitas, sama pentingnya melakukan ideologisasi di seluruh AUM agar berjalan sesuai prinsip, visi, dan misi utama Muhammadiyah.
Problem Klasik
Amal Usaha Muhammadiyah pada umumnya didirikan dan digerakkan oleh para pejuang yang memiliki misi dakwah dan tajdid sebagaimana menjadi gerakan Islam ini. Dari nol hingga tumbuh dan kemudian banyak yang berkembang besar semuanya dipupuk, disirami, dirawat, dan dibesarkan dengan spirit jihad di jalan Allah untuk kemaslahatan umat dan alam semesta.
Mereka yang bekerja di AUM banyak yang ikhlas berjuang dan berkorban, baik pimpinan maupun para pengelola dan pegiatnya. Termasuk karyawan, guru, dosen, tenaga kesehatan, dokter, pekerja sosial, dan siapa saja dengan profesi masing-masing. Di antara mereka bahkan mengalami betul jerih payah, suka dan duka, serta dinamika dalam membesarkan AUM dengan ceritanya masing-masing. Muhammadiyah berterimakasih kepada para mujahid dakwah di AUM tersebut, insya Allah semua menjadi amal jariyah untuk meraih ridla Allah SwT di hari Akhirat kelak.
Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya AUM masing-masing, terdapat pula mereka yang berada di AUM setelah lembaga tersebut tumbuh dan berkembang besar. Terdapat pula yang kehadirannya tentu awalnya hanya untuk bekerja mencari nafkah dan mengembangkan profesi belaka, yang tentu saja tidaklah salah karena mencari maisah itu juga dianjurkan ajaran Islam sebagai bentuk ibadah bagi setiap Muslim di mana pun.
Boleh jadi karena tidak memperoleh pembinaan yang baik dan niatnya semata-mata mencari nafkah atau mengembangkan profesi belaka kurang memperoleh sentuhan makna berdakwah, maka di antara para pekerja atau pegiat di AUM tersebut kemudian hanya sibuk dengan urusan dirinya semata. Sibuk dengan karir dan mobilitas diri, minus atau tidak hirau dengan misi dan kepentingan AUM sebagai institusi dakwah Muhammadiyah. Akibatnya, mereka menjadi ekslusif dan kurang atau tidak peduli dengan misi dan urusan Muhammadiyah.
Karena sibuk dengan urusan mobilitas dan profesinya sendiri, maka ketika diminta berkiprah dalam Muhammadiyah cenderung keberatan atau menolak. Mereka merasa sudah berbuat mengurus atau membesarkan AUM-nya, untuk apa harus berkiprah lagi dalam Persyarikatan. Di antara mereka ada pula yang lebih memilih aktif di tempat lain karena tidak merasa menjadi bagian dari Muhammadiyah, malah sebagian memiliki paham dan praktik keagamaan yang berbeda dari Muhammadiyah termasuk ketika Idul Fitri dan Idul Adha berbeda.
Persoalan klasik lain di AUM ialah konflik ketika suksesi kepemimpinan. Banyak AUM yang sukses dan lancar dalam menjalankan alih kepemimpinan, tetapi terdapat pula yang bermasalah dan menimbulkan konflik. Kadang yang tidak puas dalam suksesi itu sedikit atau hanya orang tertentu, tetapi karena vokal dan menempuh segala cara maka menimbulkan kesan gaduh dan bermasalah secara berkepanjangan. Lebih-lebih di era teknologi komunikasi seperti saat ini, dengan mudah orang mengirim SMS ke berbagai pihak secara terus-menerus, seolah di AUM tersebut ada masalah terus, padahal kondisinya sebenarnya sudah membaik dan normal.
Pembinaan Ideologi
Amal Usaha Muhammadiyah tentu tidak akan luput dari masalah, sebagaimana hukum kehidupan duniawi pada umumnya. Keragaman orang yang berada di AUM itu plus-minus, ada banyak positifnya tetap selalu ada sisi negatifnya. Alhamdulillah makin banyak pegiat di AUM yang hatinya lurus, tulus, dan mau berkhidmat dengan profesinya dengan baik untuk menjadi bagian integral dari pelaku yang mengemban misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah. Mereka benar-benar sudah menyatukan diri sebagai kekuatan penggerak Persyarikatan melalui amal usaha.
Bagi mereka yang masih sibuk dengan dirinya tentu dapat terus diajak dan dilibatkan agar menyatu dengan denyut nadi pergerakan Muhammadiyah. Demikian pula terhadap orang-orang yang masih memiliki paham berbeda dengan ideologi atau paham agama Muhammadiyah dapat terus diberi pemahaman dan diajak dialog agar lebih mengenal dan memahami pemikiran-pemikiran keagamaan atau ideologi Muhammadiyah secara benar dan mudah. Kita berharap dengan pendekatan dan cara yang sejalan dengan prinsip dakwah itu, yakni dengan hikmah, edukasi, dan dialog maka lama kelamaan akan sampai pada sikap dan pemahaman yang menyatu dengan Muhammadiyah.
Di sinilah pentingnya proses ideologisasi di lingkungan AUM sesuai dengan tujuan tertanamnya keyakinan dan paham gerakan Muhammadiyah secara mendalam, luas, dan menyeluruh. Proses ideologisasi ialah segala usaha menanamkan nilai-nilai dasar perjuangan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mengemban misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dengan ideologisasi tersebut setiap orang yang berkiprah di AUM benar-benar menghayati, memahami, dan mempraktikkan prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah, sehingga mereka bukan hanya menjadi kaum profesional tetapi menjadi aktor penggerak Muhammadiyah.
Usaha ideologisasi tersebut dilakukan melalui kebijakan struktural seperti Darul Arqam, Baitul Arqam, Ideopolitor, pengajian pimpinan dan anggota, up-grading, refreshing, pelibatan pada aktivitas persyarikatan, serta program lainnya sebagaimana terkandung dalam Sistem Perkaderan Muhammadiyah. Program formal ini harus menjadi kebijakan resmi seluruh pimpinan AUM, bukan insidental yang tergantung pada kebaikan figur puncak pimpinannya, tetapi benar-benar sebagai program yang melekat dan menjadi regulasi seluruh AUM. Melekat dengan itu dapat diperluas dengan pemberlakuan gerakan iuran anggota, berkartu anggota Muhammadiyah, berlangganan Majalah Suara Muhammadiyah, dan langkah-langkah lainnya sehingga dalam diri mereka tercipta alam pikiran dan rasa bermuhammadiyah. Dengan demikian setiap AUM siapapun pimpinannya terkena kewajiban organisatoris atau kelembagaan untuk menyelenggarakan kegiatan ideologisasi tersebut.
Langkah kedua ideologisasi kultural, yang dilakukan sebagai pendukung proses penanaman nilai-nilai keislaman dan kemuhammadiyahan. Program ini melekat dengan penciptaan budaya organisasi di AUM yang berjiwa Muhammadiyah. Kegiatan-kegiatan kemuhammadiyahan yang sering diselenggarakan di lingkungan AUM akan menciptakan suasana bermuhammadiyah. Demikian pula dengan keteladanan para pimpinan AUM dalam menampilkan diri selaku penggerak dan pimpinan Muhammadiyah menjadi penting sehingga dapat memberi efek pengaruh bagi anggotanya di AUM tersebut. Pendek kata, lingkungan AUM harus ramah, akrab, dan bernuansa Muhammadiyah. Jangan sampai malah bersuasana organisasi dan paham keagamaan non-Muhammadiyah.
Para siswa, mahasiswa, guru, dosen, karyawan, tenaga kesehatan, dokter, dan siapapun yang bekerja di AUM secara terus-menerus harus tertanam rasa wajib dan cinta untuk menjadi anggota Muhammadiyah sekaligus memposisikan serta memerankan diri sebagai gerakan Muhammadiyah. Keteladanan para pimpinan atau pejabat struktural dalam bermuhammadiyah akan menjadi contoh atau role-model bagi seluruh anggota di seluruh Amal Usaha Muhammadiyah. Insya Allah dengan menjadi anggota dan pelaku gerakan Muhammadiyah manakala dilakukan dengan ikhlas dan niat beribadah maka akan memperoleh ajran hasanah, yakni pahala yang baik di dunia dan akhirat dalam curahan ridha dan karunia Allah SwT.(sumber: suaramuhammadiyah)