Menyelami Makna Lailatul Qadar; Oleh Dr Happy Susanto MA, Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo)
PWMU.CO – Ibadah puasa Ramadhan adalah ibadah yang istimewa dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, karena Allah sendiri yang akan menilainya. Keistimewaan ini ditambah dengan diturunkan malam Lailatul Qadar di dalamnya.
Soal kapan waktu turunnya memang ada beberapa kisah, di antaranya adalah pada hari sepuluh akhir bulan Ramadhan, malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir, dan juga bisa kapan pun di bulan Ramadhan.
Namun ada juga pemahaman tentang malam Lailatul Qadar itu terkait dengan tingkatan puasa. Para ulama umumnya membagi puasa dalam tiga tingkatan, pertama tahap jasmani. Pada tahap ini orang puasa biasanya masih disibukkan dengan urusan fisik atau jasmani yaitu terkait dengan pola makan yang berbeda.
Siam diartikan menahan diri dari tindakan-tindakan lahiriah yang merupakan bagian kajian fikih yaitu tentang batal tidaknya puasa. Tahap kedua adalah nafsani yaitu kejiwaaan atau psikis. Kata siam diartikan bukan menahan diri dari hal-hal jasmani semata melainkan menahan diri dari hawa nafsu.
Lailatul Qadar dimaknai sebagai simbol atau metafor dari derajat seorang hamba.
Secara fikih yang membatalkan puasa adalah makan dan minum secara sengaja. Mengeluarkan kata-kata kotor, marah-marah dan membicarakan kejelekan orang lain tidaklah batal puasanya. Namun dalam konteks nafsani orang yang berpuasa seperti ini puasanya tidak akan mendapatkan hikmah apa-apa.
Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan kotor dan (tidak bisa meninggalkan) perbuatan kotor maka Allah tidak punya kepentingan apa-apa meski orang itu meninggalkan makan dan minum.” Dalam hal ini Umar juga menegaskan: Banyak sekali orang berpuasa namun tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar.
Tahap Rohani
Tahap ketiga adalah rohani atau rabbani. Pada tahap ini pengalaman spiritual orang berpuasa sudah sangat susah diterangkan dan tidak ada ilmunya. Lailatul Qadar dimaknai sebagai simbol atau metafor dari derajat seorang hamba.
Terkait hal ini ada kisah dalam sejarah Islam bahwa Rasulullah bersabda kepada para sahabat yang sedang kumpul di masjid menunggu Lailatul Qadar bahwa “Apa yang kamu tunggu-tunggu insyaallah malam ini datang, karena aku telah melihat tanda-tandanya yaitu akan ada hujan lebat kemudian aku berlumuran tanah dan basah kuyup oleh air.”
Kemudian para sahabat membubarkan diri. Pada malam itu memang terjadi hujan lebat, dan dikarenakan bangunan masjid masih sederhana dan beratapkan pelepah kurma maka air hujan langsung masuk membasahi lantai masjid yang berupa tanah.
Para sahabat melihat kejadian tersebut. Nabi bersembahyang dalam keadaan basah kuyup dan sekujur tubuhnya berlumuran tanah liat. Ini adalah sebuah simbol dan perlambang bagi umat Islam tentang asal manusia, yaitu berasal dari tanah dan air, dan akan kembali ke tanah.
Lumpur atau tanah dan air adalah simbolisme bahwa kita harus menyadari siapa diri kita dan berasal dari mana. Kesadaran ini akan membantu menghindarkan dari sifat sombong.
Pengalaman rohani tentang kesadaran asal usul manusia ini adalah pengalaman paling tinggi. Sebagaina firman Allah dalam as-Sajdah: 7-8 yang artinya “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).”
Hal ini juga dipertegas dalam surat Yasin ayat 77 yang artinya, “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptkannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata.”
Lumpur atau tanah dan air adalah simbolisme bahwa kita harus menyadari siapa diri kita dan berasal dari mana. Kesadaran ini akan membantu menghindarkan dari sifat sombong karena sombong (takabur) adalah dosa pertama yang dilakukan oleh iblis saat diminta mengakui keunggulan Adam. Sebagaimana firman Allah dalam al-Baqarah: 34 yang artinya, “Dia ingkar dan dia menjadi sombong, (dengan begitu) maka dia termasuk mereka yang kafir.”
Kesombongan inilah yang menjauhkan manusia dari kesadaran akan dirinya berasal dari mana sehingga membuat mereka sesat akan jalan pulang yaitu pulang kepada kesucian, pulang kepada Allah SWT. Untuk itu kita diperintahkan puasa untuk bisa mampu menahan diri (al-imsak) dari kesombongan dan dosa-dosa lainnya.
Akhirnya puasa harus menyadarkan manusia dari mana mereka berasal dan menghindari kesesatan sehingga bisa pulang keharibaan Allah SWT. Inilah salah satu makna terdalam dari ucapan suci innalillahi wainnailaihi rajiun, Wallaua’lam bishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni