PWMU.CO — “Macan itu dalam diri kita semua. Macan itu tidak akan bisa keluar jadi kita harus memunculkan pawangnya. Siapa itu? Diri kita sendiri. Semuanya punya macan, liar, tapi semua kembali pada kita.”
Demikian Mujahidul Authon SPdI mengumpamakan syahwat sebagai macan. Saat itu Authon berceramah tentang syahwat pada Ngaji Tafsir Ibnu Katsir di perpustakaan al-Hikmah SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Selasa (19/3/2024) pagi.
Authon awalnya merujuk Ali Imran ayat 14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Artinya, “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Authon mengingatkan jamaah kajian dari kalangan guru agar tidak melakukan syahwat di luar konteks syariah. Lain halnya dengan Kaum Fajir yang suka berbuat dosa seperti suka meremehkan shalat dan menuhankan maksiat.
Guru al-Islam ini lantas mengungkap ada fenomena para bhiksu dan pendeta yang dengan tegas menolak syahwat. “Para biarawan biarawati tidak menikah. Mereka menganggap syahwat gangguan dari alam bawah sadar jadi harus dikontrol dan mereka juga mengharamkan apa yang Allah halalkan yang baik-baik untuknya,” ujarnya.
Ia lanjut mengutip Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyah, “Karena manusia pasti tidak akan pernah lepas dari syahwatnya selagi masih hidup. Maka perintahnya adalah melepaskan ikatan hawa nafsunya dan menghilangkan dampaknya, serta Mengalihkannya dari jurang kebinasaan menuju tempat yang lebih aman dan selamat.”
Sebab, jika dilepasbebaskan, kata Authon, syahwat bisa menggerogoti keimanan seseorang. “Kita harus waspada dengan dua hal, sebagaimana nasihat Ibnu Qoyyim Aljauzi!” tuturnya.
“Waspadalah dengan dua tipe manusia: Pertama, pengikut hawa nafsu yang diperbudak oleh hawa nafsunya. Kedua, para pemburu dunia yang dibutakan hatinya oleh dunia,” lanjutnya.
Kembali ke Quran dan Sunnah
Untuk solusi keduanya, kata Authon, tidak ada jalan lain selain kembali kepada Quran dan Sunnah. Islam sendiri telah memberi solusi berupa puasa.
“Ibnu Arabi, seorang filsuf, berkata: Sesungguhnya puasa itu sebagai perisai dari api neraka karena puasa bisa menekan syahwat, dan neraka di kelilingi berbagai macam jenis syahwat,” ungkap Authon.
Dari sini ia menjelaskan, neraka identik dengan orang-orang yang dipenuhi syahwat. “Mereka masuk neraka karena diperbudak syahwat,” imbuhnya.
Salah satu contoh diperbudak syahwat ialah melakukan ghibah. “Ghibah memang tidak membatalkan puasa tapi pahalanya kobong (terbakar),” tegasnya.
Hadist tentang ini pun ia ungkapkan, “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Imam Bukhari)
Karena itulah, sambung Authon, Allah meminta kita berpuasa untuk mendapatkan ketakwaan, tidak hanya lapar dan haus. Untuk mencapai ketakwaan ini, perlu menjaga perilaku.
“Perilaku kita yang harus puasa. Yang awalnya gampang ghibah, meso, bisakah menahan itu semua selama puasa?” tanya Authon retorik.
Authon kemudian mengutip hadist Ahmad yang membuatnya termotivasi menjaga lisan dan perilaku, “Rasulullah SAW bersabda, keutamaan Islam yang dimiliki mukmin adalah siapa yang selamat dari ucapannya dan tangannya.”
“Jadi kalau orang-orang di sekitar tidak ada yang tersakiti karena ucapan dan perilaku saya. Sudahkah saya termasuk kategori itu?” imbuhnya.
Terkait perilaku, ia mengingatkan, “Njenengan yang punya kekuasaan, jangan sampai sembrono menggunakan kekuasaan itu.”
Mukmin paling Baik
Kedua, kata Authon, Mukmin yang paling baik imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Ketiga, seorang muhajirin, yang hijrah, utamanya adalah siapa yang mampu mengikuti apa yang Allah haramkan baginya.
Dia mencontohkan, seseorang menghapus tatonya untuk menghindari apa yang Allah haramkan. Authon yakin, menjaga keistikamahan ini tentu berat.
“Jihad yang paling utama bukan hanya dengan bawa bedil, jihad yang paling utama adalah menahan atau memerangi hawa nafsunya sendiri,” tegasnya.
Sekali lagi ia menekankan, “Jangan sampai kita berkiblat pada hawa nafsu. Jangan sampai pahala hangus hanya karena mengikuti hawa nafsu yang sifatnya cuma sementara.”
Akhirnya Authon mengajak untuk ‘menanam’ ucapan maupun perilaku baik-baik saja. “Jangan tanam yang jelek. Kalau sudah tua kita akan menyesal, baru ingat Gusti Allah,” tambahnya.
Ia juga mengajak para guru itu untuk lebih selektif dalam bertindak. “Selagi hidup, kita memang bisa benci, adu domba, ghibah dan semuanya. Karena itu bagian dari hawa nafsu yang harus ditaklukkan. Tapi kita harus punya ilmu dan kendali. Seni pertama menuju Allah adalah sabar,” tutupnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni