PWMU.CO – Bagi jamaah calon haji (JCH) Indonesia yang berangkat pada Gelombang II, soal miqat bisa menjadi problem tersendiri.
Beda dengan JCH Gelombong I yang langsung ke Madinah, persoalan miqat tidak ada kendala karena semua akan melakukannya di Birr Ali.
Sedangkan bagi CJH yang langsung ke Mekkah melalui Bandara King Abdul Aziz Jeddah, persoalan miqat masih menyisihkan perbedaan. Sebagian, mengikuti hasil ijtihad tentang bolehnya mengambil miqat—start umrah—dari Jeddah, karena sudah memenuhi syarat jarak dari Mekkah, di samping karena pertimbangan memudahkan. Bolehnya miqat di Jeddah sendiri merujuk pada Imam Ibnu Hajar yang dikuatkan Fatwa MUI.
(Baca: Lho, Shalat Dhuhur kok Jam 5 Sore? dan Halal bi Halal kok Pakai Celana, Sarungan Dong!)
Tapi bagi sebagian lainnya, miqat di Jeddah belum bisa diterima. “Miqat itu bukan soal ijtihadiyah karena Nabi Muhammad saw sudah menentukan di mana saja miqat harus dilakukan,” kata Dr HM Aslich Maulana SH MAg, pembimbing KBIH Baitul Atiq Gresik, (18/8).
Aslich sepakat dengan pendapat bahwa miqat JCH Gelombang II dari Indonesia adalah Qornun Manazil, salah satu miqat yang disebut Nabi SAW.
Persoalannya, Qornun Manazil itu kini adalah sebuah lautan, maka bagaimana teknis ihramnya? Mungkinkah 450 CJH dalam satu kelompok terbang (kloter) itu berganti pakaian ihram di pesawat? Sementara model dan jumlah toilet tidak memadai.
Maka, seperti yang dilakukan oleh KBIH Baitul Atiq, mandi sunah ihram dan menggunakan pakaian ihram harus dilakukan di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. “Sementara niat miqat nanti baru dilakukan 30 menit menjelang pesawat mendarat di Jeddah. Di situlah posisi Qornun Manazil,” terang Aslich.
Tapi tidak mudah bagi CJH mengikuti petunjuk itu. Untuk penerbangan 9 jam lebih Surabaya-Jeddah, harus dalam posisi hanya berkain ihram. Maka muncullah berbagai pertanyaan dari JCH. Bagaimana jika saat di pesawat kedinginan? Bagaimana pula jika tidak tuntas saat habis buang air kecil, bukankah itu bisa membuat pakaian ihram najis.
Maka, sejumlah kiat pun bermunculan. Ada yang memadu dengan baju, kaos, atau jaket. Seperti yang dilakukan Ali Abidin salah satu JCH Baitul Atiq. “Agar tidak kedinginan,” katanya beralasan. Ada pula yang memakai celana kolor, untuk menjaga kesucian kain ihram. “Kan perjalanan masih lama,” aku Joko Supriyadi, JCH lainnya.
Nah, ketika pramugari mengumumkan bahwa zona miqat sebentar lagi akan dilewati pesawat, semua JCH bersiap diri. Baju, kaos, jaket, celana kolor, dan lainnya segera dilepas. Hanya tersisa dua potong kain putih tanpa jahit: saatnya bersiap ihram.
“Labbaik umratan,” begitu terdengar komando dari Ketua Rombongan untuk niat memulai ihraman. Itu artinya JCH sudah dalam posisi berihram dan bersiap untuk menemui Allah. Labbaikallahumma labbaik ….. (MN)