Nasihat Hamka tentang Istikamah; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit Ramadhan 2024) dan 10 judul lainnya
PWMU.CO – Kaum beriman yang punya sikap istiqomah, dari sisi agama, akan tampil mengesankan. Lihatlah, tiga pribadi berikut ini.
Bersandar kepada sikap istiqomah, Abdul Karim Amrullah di Sumatera Barat pada zaman penjajahan “tampil” gagah menolak aturan seikerei Jepang. Berkat sikap istikamah, Bilal dan Sumayyah “tampil” gagah menghadapi siksaan kaum kafir Quraisy Makkah di masa awal Islam.
Jika begitu, apa makna istiqomah? Seperti apa kisah Abdul Karim Amrullah, Bilal, dan Sumayyah? Apa nasihat Hamka?
Makna yang Menggugah
Perhatikan ayat tentang istikamah ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istikamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” (al-Ahqaaf 13).
Di Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama, disebutkan bahwa istikamah itu tegak pendirian dalam tauhid dan tetap beramal shalih (1990: 824). Sementara, A. Hassan di Tafsir Al-Furqan, menyebut bahwa istikamah adalah berlaku lurus dengan beramal menurut petunjuk Kitabullah (1405 H/1985: 991).
Istikamah, kata Prof. Wahbah Zuhaili dkk di Ensiklopedia Al-Qur’an, adalah konsisten dalam sikap dengan menggabungkan antara tauhid dan menjalankan syariat (2007:504). Sementara, Hamka di Tafsir Al-Azhar menyebut bahwa istikamah itu teguh pendirian dan itu menjadi sikap hidup. Segala pikiran dan semua kegiatan, dilakukan demi meraih ridha Allah (2003: 6646).
Menarik membaca kalimat terakhir di paragraf di atas, terkait pandangan Hamka. Dari situ kita bisa mengembangkan pikiran bahwa sikap yang demikian-yaitu “Segala pikiran dan semua kegiatan, dilakukan demi meraih ridha Allah”–hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang punya nafsu muthmainnah.
Seperti kita tahu, di keseharian, nafsu akan selalu menyertai semua manusia. Sementara, nafsu adalah “Organ rohani manusia paling berpengaruh yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakan.” (https://ensiklopediaislam.id/nafsu/).
Ada tiga jenis nafsu yaitu ammarah, lawwamah, dan muthmainnah. Pada orang yang dibersamai nafsu ammarah, semua perilakunya negatif. Pada orang yang dibersamai nafsu lawwamah, kesehariannya labil yaitu kadang berperilaku baik dan kadang berbuat tak baik.
Sementara pada orang memiliki nafsu muthmainnah, di setiap dia akan melakukan sesuatu maka dengan tenang dia akan kontrol terlebih dahulu: Apakah yang akan dikejakannya itu, Allah ridha? Jika iya, dia akan kerjakan. Sebaliknya, jika tidak, dia tak akan laksanakan. Intinya, semua aktivitasnya diusahakan selalu berada dalam konteks berharap ridha Allah.
Bagi yang menunaikan ibadah puasa Ramadhan, sangat berpeluang meraih posisi memiliki nafsu muthmainnah. Hal ini, karena sebulan penuh mereka telah menjalani pendidikan dan pelatihan untuk bisa menahan diri. Dia telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk bisa menundukkan nafsu.
Pribadi Menakjubkan
Istikamah adalah tegak pendirian dalam tauhid dan terus beramal shalih. Istikamah insyaallah telah mewujud pada pribadi seperti, sekali lagi, Abdul Karim Amrullah, Bilal, dan Sumayyah. Mari, rasakan!
Di zaman penjajahan Jepang ada aturan seikerei. Seikerei merupakan penghormatan kepada Tenno Heika (Kaisar Jepang) yang diyakini sebagai keturunan dewa matahari dengan cara membungkukkan badan menghadap ke arah matahari terbit (https://tirto.id/sejarah-pendidikan-kebudayaan-era-penjajahan-jepang-di-indonesia-gnzo).
Atas aturan yang menyinggung akidah Islam itu, nyaris semua tak bisa menolak. Ini, karena ada ancaman siksaan bahkan pembunuhan bagi penolak.
Di antara yang berani menolak adalah Abdul Karim Amrullah. Atas sikap berani ini, sebagai anaknya, Hamka lalu menanyakannya kepada sang ayah yang tak punya rasa takut kepada aturan penjajah.
“Hal yang aku takuti bukanlah disiksa dan dibunuh Jepang. Hal yang aku takuti ialah yang sesudah diriku mati dibunuh. Bagaimana pertanggungjawabanku kelak di hadapan Allah,” jelas sang ayah.
Sekarang, kita lihat Bilal Ra. Jiwa dia benar-benar merdeka sekalipun-ketika itu-secara fisik terbelenggu karena menjadi budak Umayyah. Suatu saat, terjadilah dialog menarik antara Umayyah dan Bilal.
“Bilal, berpikirlah secara sehat. Atau, aku akan menarik jiwamu yang telah dicuri Muhammad, keluar melalui rusukmu,” ancam Umayyah.
“Jiwaku tak pernah dicuri Muhammad. Beliau telah membimbingku ke jalan yang benar,” jelas Bilal, santun.
“Kau masih berani untuk mempertahankan tindakanmu yang salah dan tidak mematuhi perintahku,” desak Umayyah.
“Dalam hubungan dengan Tuhan, aku tidak akan mematuhi perintahmu, wahai majikanku. Aku hanya mematuhi perintah Allah,” tegas Bilal.
Lalu, berlangsunglah drama penyiksaan atas Bilal. Tapi, masyaallah! Saat disiksa secara hebat agar Bilal kembali ke “agama nenek moyang”, dia bergeming seraya teguh berseru di depan Umayyah dan Abu Jahal: “Ahad, … Ahad (Allah Yang Maha-Esa, … Allah Yang Maha-Esa)!”
Selanjutnya, perhatikan kisah menggetarkan Sumayyah di masa permulaan Islam. Awalnya, Sumayyah seorang hamba sahaya. Dari hasil pernikahannya dengan Yasir dia dikaruniai putra bernama Ammar.
Saat Muhammad Saw datang membawa Islam, tanpa ragu-ragu Ammar bersyahadat. Kedua orang tuanya kemudian mengikuti jejak sang anak bersyahadat. Sementara, kebanyakan orang Quraisy justru sangat anti dan bahkan memusuhi Islam.
Mengetahui Sumayyah dan keluarganya masuk Islam, murka-lah orang-orang musyrikin, terutama Bani Makhzum yang selama ini melindungi mereka. Teror dan siksaan mulai mendera mereka.
Kaum musyrikin memaksa Sumayyah bersama suami dan anaknya melepas keyakinan. Posisi mereka yang rendah, membuat keluarga Sumayyah harus tabah menghadapi tekanan dan siksaan. Mereka hanya bisa memohon pertolongan Allah.
Di tengah siksaan yang kejam, Sumayyah dengan penuh keberanian justru menantang Abu Jahal, seorang pemimpin Quraisy yang ditakuti. Abu Jahal murka mendengar seorang perempuan menantangnya. Ia lalu membunuh Sumayyah dengan cara yang keji, demi menutupi rasa gengsinya yang telah ditantang seorang perempuan. Sumayyah-pun gugur sebagai syahidah pertama karena membela agama Allah (www.republika.co.id 24/01/2012).
Empat Syarat
Sekarang, kita lihat kabar gembira dari Allah bagi mereka yang istiqomah. Kita cermati lanjutan al-Ahqaf 13 tentang istikamah di atas. “Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan” (al-Ahqaaf [46]: 14).
Hamka di “Tafsir Al-Azhar” menyampaikan empat syarat agar yang istiqomah masuk surga, yaitu: 1). Mereka yang istikamah “Mengatakan Tuhan kami, Allah. 2).Mereka yang istikamah punya pendirian yang tetap dan teguh (dalam ketauhidan). 3). Mereka yang istikamah memberikan pembuktian dari pendirian yang tidak pernah dapat diubah. 4). Mereka yang istikamah tidak merasa takut dan sedih.
Mengunci uraian tentang syarat-syarat di atas, Hamka lalu memberi nasihat. Bahwa dengan memenuhi keempat syarat itu, baru datang jaminan Allah. Mereka akan dimasukkan surga yang mulia. Istikamah-lah, kata Hamka, yaitu dengan cara “Semua yang dikatakan itu dikerjakan, diamalkan” (Tafsir Al-Azhar, 2003: 6648). Jadi, mari istikamah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni