PWMU.CO — Alumnus UMM berpuasa di Hungaria. Ternyata perlu usaha lebih untuk bisa menikmati takjil saat berbuka puasa.
Jika berpuasa di Indonesia tak nikmat jika tanpa ditemani cuaca terik di siang hari. Apalagi berburu takjil kala sore yang biasanya menjadi pilihan utama menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman.
Lain halnya dengan suasana bulan puasa di negara lain. Mulai dari budaya, kebiasaan, hingga cara menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.
Inilah yang Hesti Miranda rasakan. Alumnus Program Studi (Prodi) Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu tengah menjalani bulan Ramadhan di Eropa Tengah yaitu Hungaria.
Menurutnya, ada perbedaan yang sangat kentara saat bulan Ramadhan ini baik dari segi musim, waktu, makanan, maupun ibadah. “Kebetulan saat ini sedang musim semi jadi puasa lebih nyaman dan tidak terlalu panas. Berkat musim ini pula, durasi puasanya juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima PWMU.CO, Jumat (22/3/2024).
Sayangnya, kata Hesti, di sana tidak ada penjual yang menjajakan takjil di pinggir jalan sebagaimana di Indonesia. “Jadi kalau ingin makan gorengan, mau tidak mau harus bikin sendiri,” kenang mahasiswa doktoral tingkat akhir jurusan Educational Science di University of Debrecen, Hungaria itu.
Uniknya, menurut Hesti, cuaca menjadi faktor yang paling mendukung dalam menjalankan ibadah puasa. “Jika di Indonesia musim yang paling cocok adalah musim panas, namun di Hungaria musim yang paling cocok adalah musim dingin dan musim semi. Karena pada saat itu suhu masih terbilang dingin, sehingga panas matahari tidak terlalu terik dan aktivitas menjadi lebih fleksibel,” terangnya.
Sementara terkait tempat ibadah, meski di sana ada masjid tapi tidak menyelenggarakan ibadah tarawih berjamaah. Karena itulah Hesti biasanya mengikuti shalat tarawih yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau dengan shalat di rumah salah satu teman Indonesianya.
“Sebenarnya tak jauh beda dengan di Indonesia, namun di sini hanya cuacanya saja yang mendukung kami para Muslim untuk berpuasa,” tambahnya.
Walaupun suhu udara saat di Hungaria saat ini kurang lebih 5 derajat celcius, namun Hesti merasakan kehangatan dari teman sekelasnya. Sebab, teman sekelas Hesti yang beragama non-muslim kadang memberinya makanan asli Hungaria untuk berbuka puasa.
Selain itu, ia merasakan tingginya toleransi, paling tidak di lingkungannya. Misal, saat teman-temannya berusaha untuk tidak makan di depannya dan tidak lagi mengajaknya makan di siang hari karena tahu ia sedang berpuasa. (*)
Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni