Kuliah Tak Ada Hubungannya dengan Kaya atau Miskin; Oleh Dr Encep Saepudin SE MSi, Dosen Prodi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (UM) Purwokerto dan Anggota LPCR PWM Jateng.
PWMU.CO – Tingkat pendidikan suatu negara mencerminkan ketinggian peradaban. Pendidikan membuka ruang gagasan individu dan kelompok seluas-luasnya dalam inovasi sesuai bakat dan minatnya.
Belanda masuk ke Nusantara sekitar tahun 1595 atau sekitar 68 tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Salah satu kunci keberhasilan Belanda menjajah Nusantara selama 350 tahun karena menutup akses pendidikan bagi pribumi agar semakin bodoh sebodoh-bodohnya.
Pada tahun 1890, C. Th. Van Deventer mengajukan politik etis agar pribumi mendapatkan hak edukasi, irigasi, dan transmigrasi. Politik ini membuka ruang bagi pemuda, terutama dari kalangan bangsawan dan tokoh masyarakat, mengenyam pendidikan dengan baik.
“Ya, elah, tong. Elo mau jadi apa kalo kagak sekolah!” tegur emak pada anaknya. Ternyata teguran emak bukan isapan jempol, tapi benar banget adanya.
Berbagai penelitian menemukan, tingkat pendidikan menentukan makin tinggi keahlian, keterampilan, dan pengalaman setiap individu. Hal ini disadari para konglomerat sehingga hanya menyerahkan pucuk pimpinan perusahaannya pada turunan generasi yang berpendidikan baik.
Tidak percaya? Buka dan baca saja profil anak dan cucu konglomerat yang menjadi direksi dalam annual report perusahaannya. Rata-rata sudah berpendidikan master alias S2!
Namun belakangan ini, santer Reels di medsos tidak kuliah juga bisa kaya. Lha, kuliah itu tidak ada hubungannya dengan kaya atau miskin.
Kuliah itu bikin orang makin berilmu, yang berguna bagi dirinya untuk berkompetisi dalam dunia kerja. Persaingan kerja adalah urusan nyata, sedangkan kaya atau miskin adalah urusan kegaiban.
Indonesia Emas
Al-Quran sudah mengingatkan pentingnya pendidikan sejak 14 abad silam. Sebagaimana firman Allah SWTdalam at-Taubah ayat 122: “Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Tahun 2045 dicanangkan sebagai Indonesia Emas. Di tahun tersebut, penduduknya sudah makin mengurangi makan mangga dalam bentuk buah, melainkan minum jus mangga dalam kemasan.
Di masa depan nanti, hampir semua produk pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan sudah dalam bentuk produk olahan. Anak-anak generasi itu sudah mulai tidak mengenal bentuk buah mangga meski minum jus mangga olahan setiap hari.
Untuk mengolah buah-buahan dan lainnya itu butuh sumber daya manusia (SDM) berpendidikan terbaik. Kemendikbud memproyeksikan Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga kerja terdidik, ahli, dan terampil pada tahun 2045.
Tinggal 21 tahun lagi dari sekarang. Mari kita simak kesiapan kualitas pendidikan anak negeri menyambut era industri tersier dan selamat tinggal industri primer.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka partisipasi kasar (APK) per jenjang pendidikan tahun 2023. APK SD sederajat 105,62; APK SMP sederajat 92,51; dan APK SMA sederajat 86,34.
APK pendidikan tinggi cukup memprihatinkan. Sebab APK perguruan tinggi (D1-S3) 31,45. Artinya, sebanyak 68,55 persen anak lulusan SMA/SMK/MA tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Di ASEAN, Negeri Katulistiwa ini menempati peringkat keempat dalam APK pendidikan tinggi, di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Apalagi bila dibandingkan dengan China, Rusia, Korea Selatan, dan negara maju lainnya.
Di tengah APK perguruan tinggi masih rendah, Kantor Kemenko PMK sedang menjajaki pengalihan dana LPDP untuk riset. Padahal penerima beasiswa LPDP di kisaran 9.000-10.000 mahasiswa dalam satu tahun.
Bagaimana teknis pengalihannya, ya kita tunggu saja penjelasan dari pemerintah. Kalau sudah jelas mekanismenya, nanti kita baca. Iqra! (*)
Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni