Kekuatan Niat sang Ibadah Hati; Oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO; alumnus Pesantren Muhammadiyah Babat Lamongan.
PWMU.CO – Salah satu hikmah puasa Ramadhan adalah tersingkapnya rahasia kekuatan niat. Bayangkan, perokok yang di luar Ramadhan seolah-olah tidak bisa menghentikan kebiasaan itu, ternyata di bulan Ramadhan, bisa berhenti, setidaknya di siang hari.
Mengapa begitu? Tidak lain dan tidak bukan karena ada niat yang kuat dari sang perokok untuk berpuasa—yang tidak membolehkan merokok, di samping makan, minum, dan berhubungan suami istri sejak Subuh hingga Maghrib. Jadi, puasa Ramadhan membuktikan bila niat itu lebih kuat daripada apa saja. Rasa lapar dan haus akan dikalahkan oleh niat. Demikian pula rasa kantuk, lelah, capek, berat, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, dalam fikih, niat menjadi syarat atau rukun ibadah yang pertama. Puasa tanpa niat tidak sah. Demikian juga shalat, zakat, umrah-haji, dan sebagainya. Dalam konteks ini, niat bukan sekadar formalitas, tetapi sebagai sebuah komitmen (azam).
Dalam konteks ini, niat bisa ditafsirkan juga sebagai sebuah cita-cita. Maka berita-citalah (yang tinggi di atas langit) sebab dengan itu Anda akan berusaha mencapainya.
Hikmah atau pelajaran yang bisa dipungut dari niat puasa ialah kalau sudah berkomitmen terhadap sesuatu, maka perjuangkanlah. Bukan saja dengan sepenuh hati, melainkan pula dengan sepenuh raga. Seperti seorang perjaka yang berkomitmen menikahi seorang gadis, maka dia akan memperjuangkannya, meskipun harus melewati perjalanan nan penuh onak dan mendaki.
Atau seorang pelajar yang ingin sukses menembus perguruan tinggi favorit, maka dia akan berupaya sekuat tenaga untuk mencapainya, mungkin dengan mengorbankan sesuatu. Dan sebagainya.
Dalam konteks ini, niat bisa ditafsirkan juga sebagai sebuah cita-cita. Maka berita-citalah (yang tinggi di atas langit) sebab dengan itu Anda akan berusaha mencapainya. Bukan hanya diri sendiri yang akan mengusahakannya, alam semesta dan Tuhan pun akan ikut membuka jalannya.
Niat yang Membedakan
Sebagai ibadah hati, niat itu punya kekuatan dahsyat. Ia bisa membedakan mana ibadah satu dengan ibadah lainnya. Saat kita masuk ke masjid usai adzan Dhuhur, lalu mendirikan shalat dua rakaat, hanya niatlah yang membedakan itu shalat tahiyatul masjid atau shalat qabliah. Sebab, rakaatnya sama, tata caranya sama. Yang membedakan hanya niatnya.
Niat juga bisa membedakan antara ibadah mahdhah dengan kebiasaan hidup sehari-hari. Mandi basah, artinya membasahi seluruh tubuh, bisa menjadi mandi wajib (junub) atau mandi biasa. Itu tergantung niatnya. Pekerjaanya sama: sama-sama mengguyur sekujur tubuh dari rambut hingga ujung kaki.
Begitu pula puasa (sunah). Ia bisa bernilai ibadah bila diniatkan puasa. Tapi jika tak diniati puasa, maka menjadi jalan lapar biasa—atau jalan kelaparan bagi yang dhuafa. Rasulullah SAW mencontohkan ini ketika Aisyah, sang istri, suatu saat tidak menyiapkan sarapan. Nabi pun akhirnya meniatkan sebagai puasa sunah.
Kehebatan niat juga bisa disingkap dari perspektif ikhlas, demi Allah atau demi manusia? Kisah tiga orang shaleh dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu an-Najar, bisa menjadi pelajaran.
Walaupun di mata manusia tiga perbuatan ini sungguh terpuji—pahlawan, pengajar al-Quran (qari), dan dermawan—tapi karena niatnya bukan karena Allah, melainkan karena riya’ (ingin dilihat manusia) atau sum’ah (ingin didengar manusia), maka sia-sialah perbuatan mereka, bahkan menjadi ‘tiket’ masuk neraka.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan pentingnya niat ikhlas karena Allah dalam peristiwa hijrah dari Madinah ke Makkah. Hadits riwayat Bukhari Muslim dari umar bin Khattab itu termaktub dalam kitab Hadits Arbain an-Nawawiyah.
Disinyalir ada sahabat yang hijrahnya bukan karena Allah tapi karena harta yang diikhtiarkan atau wanita yang ingin dinikahinya, maka kata Nabi hijrahnya tidak mendapatkan apa-apa (keridhaan Allah) kecuali harta diusahakan atau wanita yang diinginkan.
Semoga Allah menurunkan hikmah Ramadhan, termasuk soal niat ini, pada kita, amin! (*)