PWMU.CO – UMM ingin membangun hubungan dengan pers secara otomatis (automatically) atau di luar alam sadar dan ikhlas. Tidak by design, apalagi di-setting.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Nazaruddin Malik SE MSi dalam acara Silaturahmi dan Buka Bersama Kerabat Media Kontributor UMM di Aula Biro Administrasi Umum (BAU), Rabu (27/3/2024) sore.
Hadir dalam forum itu pimpinan UMM serta pimpinan dan wartawan dari berbagai media nasional dan lokal yang meliputi media cetak, online, radio, dan televisi.
Pak Nazar, sapaannya, menjelaskan tradisi kumpul bersama antara UMM dengan awak media tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1997 ketika Rektor UMM dijabat oleh Muhadjir Effendy yang kini menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
“Tradisi baik ini perlu kita lanjutkan,” ujarnya, rektor UMM ke-8 itu.
Dengan retorik, Nazar bertanya, sebenarnya bagaimana pola hubungan antara UMM dan seluruh ekosistemnya bersama media itu? “Apakah karena Pak Muhadjir itu seorang awak pers, menjadi dosen dan seterusnya?” tanyanya.
Menurut dia interaksi dan kohesi sosial semacam ini tentu akan menarik bila berlangsung di luar alam sadar karena ada banyak hal tentang kehidupan kemanusiaan. “Termasuk ekosistem hubungan dengan pers itu harusnya terjadi automatically (secara otomatis) dan ikhlas. Jadi tidak by design, apalagi di-setting,” tegasnya.
Dengan bercanda, Nazar menambahkan, “Karena kita ini juga punya insting nge-setting-setting gitu ya. He-he-he… karena nggak sengaja pelajaran maupun pengalaman jurnalistik itu membuat pintar-pintar setting.”
Tetapi menurutnya, yang hendak dibangun oleh Muhadjir Effendy, termasuk dengan membidani berdirinya Program Studi Ilmu Komunikasi UMM, adalah hubungan yang di luar alam sadar itu. “Ini saya banyak cerita Pak Muhadjir karena agak tahu persis Jurusan Ilmu Komunikasi itu benar-benar dedikasi ranah pers yang kental,” ungkapnya.
“Saya kembali ke ekosistem hubungan yang otomatis tadi, yang di luar alam sadar. Rasanya kita ini ada dan dekat-dekat gitu. Tidak by setting. Artinya, kita melakukan aktivitas jurnalistik itu yang berimbang, check and ballance. Kalau UMM kurang balance ya di-balance-kan. Kalau berita belum tentu terlalu lengkap ya kita coba cari lakukan check. Ini menjadi mekanisme penting dalam proses membuat news,” terangnya.
Tapi jauh di balik itu, lanjutnya, dunia pers mengajarkan kita pada sebuah tatanan hubungan bagaimana kita membangun nilai public relations yang bagus. Bahkan mungkin corporate relations.
“Saya lebih suka menyebutnya university relations, (yang) harus dibangun. Salah satunya yang terpenting adalah untuk mendapatkan menu. Menu bergizi berupa knowledge (informasi),” ungkap Wakil Ketua Pimpian Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu.
Anak sulung almarhum Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong Abdul Malik Fadjar itu menegaskan, yang terpenting bagi sebuah universitas adalah bagaimana dia menyerap berbagai informasi yang diproduksi oleh media.
“Apalagi di era sekarang ini, media mainstream misalnya, walaupun masih eksis, tapi sudah mulai dilingkupi media non-mainstream. Khususnya digital media yang luar biasa banyak,” ujar pendiri Rumah Baca Cerdas (RBC) Malik Fadjar Institute itu.
Bagi dia, itu semua bisa banyak dampak positifnya. “Tapi kita tetap berpikir bahwa UMM selaku universitas ini harus menggerakkan dorongan untuk tekun membaca. Terutama membaca cetak. Yang tadi saya sebut sebagai media mainstream,” imbuhnya.
Dia pun bercerita jika UMM masih berlangganan koran yang cukup lengkap. “Di meja kami setiap pagi itu kalau nggak salah ada 6 atau 7 (koran). Hampir seluruh terbitan yang masih hidup di Indonesia itu ada,” ujar dia yang disambut tepuk tangan pimpinan dan awak media.
Membaca untuk Memprediksi Masa Depan
Mengapa UMM masih melanggan berbagai koran, meskipun Nazar mengaku tidak selalu membaca semuanya melainkan hanya scanning dan skimming? Dia beralasan, hal itu sekadar sebagai nostalgia. Tapi lebih dari itu—dengan melanggan banyak koran—dia merasa menjadi orang yang punya banyak informasi luar biasa, bahkan menguasai dunia ini.
Dia mencontohkan John Naisbitt yang melahirkan buku-buku best seller seperti Mindset dan Megatrends. Menurutnya keberhasilan itu dipengaruhi oleh kegemaran Naisbitt mengkliping koran—sebagaimana juga dilakukan oleh ayah Nazar, Abdul Malik Fadjar. “Artinya Naisbitt untuk bisa menjadi penulis terkenal itu klipingnya luar biasa banyak. Tiap hari nyomotin koran,” ungkapnya.
“Semula dia menyerap saja informasi yang ada itu. Tidak pilah-pilah sampai kemudian muncul ide, ‘Saya kok bisa melihat dunia ini jauh dibandingkan kenyataan yang ada sekarang’. Itu kata Naisbitt,”
Maksudnya, dia melanjutkan, dengan berbagai informasi yang dibaca itu Naisbitt bisa memproyeksikan kira-kira lima atau bahkan 20 tahun yang akan datang, dunia akan terkonstruksi bentuknya seperti apa.
“Salah satu dari rekaannya itu, kita masuk dalam ekosistem digital, itu adalah salah satu yang sudah diproyeksikan Naisbitt di dalam bukunya Mindset,” ungkapnya. Artinya, kata Nazar, kalau kita membaca secara serius, pertanyaan penting di era sekarang ini, kita masih bisa memprediksi masa depan dengan baik atau tidak?
Menurut Nazar, Naisbitt tidak memilah-milah informasi. Berita apapun dianggap gizi sehingga dia bisa seperti membaca bentuk dunia itu sepuluh tahun lebih cepat dari perkembangan dunia itu sendiri.
“Itulah yang dilakukan Naisbitt dengan berbagai buku best seller-nya yang mencoba memproyeksikan dunia,” ujarnya. Maka menurut Nazar berbagai konten dan jenis informasi luar biasa yang begitu dekat dalam kehidupan ini adalah gizi bagi kita.
Misi UMM
Paka Nzar menegaskan, dalam konteks ini UMM harus hadir memberi solusi bagi kehidupan sosial-kemasyarakatan maupun kehidupan ukhrawi. “Itu sebenarnya esensi Islam berkemajuan yang diusung Muhammadiyah,” katanya.
Untuk membawa misi itu, salah satu hal yang harus dibangun sebagai universitas yang bernaung di bawah Muhammadiyah adalah hidup dengan ekosistem yang bisa mengantarkan pada hal lebih baik.
“Salah satu pilihannya, ekosistem jurnalistik, kemediaan, pers, bisnis dan keuangan, termasuk hospitality, didukung oleh ekosistem pers yang bagus, maka kita akan dapat menggapai masa depan itu lebih baik,” tuturnya.
Degan begitu, menurutnya, kita bisa lebih jelas melihat apa-apa yang mungkin terjadi; yang dihadapi umat manusia, kehidupan kita di masa-masa yang akan datang. Sehingga bisa lebih mempersiapkan diri, lebih mengatur langkah-langkah, membuat respon, mencari terobosan proaktif untuk memberi kemaslahatan yang lebih banyak bagi kehidupan kemanusiaan yang lebih baik di masa yang akan datang.
“Dengan gizi yang diberikan teman-teman media dan pers itu, kita berharap bisa mencari tahu masa depan yang lebih baik itu harusnya dibuat dan didesain di masa kini dengan cara seperti apa,” kata dia.
Sehingga, lanjutnya, manusia maupun anak cucu kita kelak akan hidup di alam yang lebih damai, lebih predictable, lebih well educated, lebih sehat dan memiliki harapan. Sehingga mereka akan dekat dengan Tuhan.
“Itu kira-kira gambaran betapa pentingnya komunikasi kita satu sama lain yang diwujudkan dalam acara sederhana ini,” ujarnya. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni