PWMU.CO – Kader Nasyiah harus militan, bukan meletan disampaikan Wakil Ketua PWM Jatim Dr Muhammad Sholihin Fanani MPSDM dalam sambutan pembukaan Syiar Ramadhan PWNA Jatim, Jumat (29/3/2024).
Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur siang itu menyelenggarakan Syiar Ramadhan di Aula Mas Mansur Gedung Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Jalan Kertomenanggal Surabaya, Jatim.
Sholihin menegaskan, kekuatan Muhammadiyah pada militansi penggeraknya. “Orang Muhammadiyah dulu yang militansi, sekarang meletansi. Diajak kegiatan berat sedikit melet,” candanya. Melet atau meletan dari bahasa Jawa yakni mengeluarkan atau menjulurkan lidah. Di sini diartikan sebagai banyak alasan atau enggan berbuat.
Ia lantas mengungkap sosok tokoh Muhammadiyah yang militansinya bisa menjadi panutan.
Dulu Kiai Ahmad Dahlan anaknya sakit ditinggal, dengan berpegang pada ayat
اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ ,”
Dia mengutip surat Muhammad ayat 7.
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Karena itulah Sholihin mengajak para peserta yang kompak memakai seragam batik Nasyiah Jatim merah muda dan berkerudung biru untuk meyakini, “Urus urusan orang lain, urusan kita akan diurus Allah.”
“Kalau kita berorganisasi masih fasih mengurus urusan sendiri, kita belum pantas jadi pengurus di Muhammadiyah. Urus fakir miskin dan orang terlantar, ini militansi!” tegasnya.
Sholihin menjelaskan, militansi berarti tidak mengenal lelah dalam berjuang. “Tidak hubud dunya (cinta berlebih terhadap dunia), tidak berebut jabatan,” imbuhnya.
Terkait ini, Sholihin menekankan, “Keberhasilan tidak diukur dari jabatan yang diperoleh tapi sejauh mana kita ikut terlibat menyelesaikan problematika dalam berorganisasi. Semakin banyak terlibat menyelesaikan masalah, semakin berhasil.”
Sebab ia menyadari, problematika organisasi banyak. Misalnya, ia pernah membaca data 8 dari 10 anak siswa SD sudah pernah melihat film porno di HP.
“Ini temuan problem di masyarakat. Di Surabaya dan Sidoarjo umur segitu sudah punya pacar dan melakukan hubungan layaknya suami istri,” ungkapnya.
Selain itu, Sholihin mengungkap masalah lainnya seperti angka perceraian meningkat. “Rangking 1 di Jatim. Rata-rata istri yang sudah sertifikasi menggugat cerai suaminya,” ujarnya.
Militan Berdakwah
Melihat banyaknya masalah itu, Sholihin kembali mengajak, “Mari kita menjadi kader yang militan, bukan meletan!”
Ia menilai, kader Muhammadiyah sekarang kurang militan. “Kita datang mau berjuang kalau ada sesuatu yang kita dapatkan. Ini militansi kita perlu ditingkatkan,” tegasnya.
Ia pun berharap NA alias Nasyiah bagian dari ortom yang punya militansi. Ia bahkan menyarankan, 10 Komitmen Nasyiatul Aisyiyah ditambah jadi 11. “Wajib bisa ceramah, minimal ceramahi suaminya,” ujarnya.
Sholihin pun menegaskan, kiprah dakwah jadi kekuatan Muhammadiyah dan ortomnya. “Harus semakin luas dakwahnya! Tidak hanya di kalangan Muhammadiyah,” sarannya kepada kader Nasyiah Jawa Timur.
Menurut Sholihin, kini dakwah hanya di lingkungan Muhammadiyah. Padahal dakwah bisa menyasar masyarakat dakwah, masyarakat yang belum masuk Islam.
Selain itu juga bisa menyasar masyarakat ijabah, masyarakat Islam yang belum sesuai Quran dan Sunah. Termasuk pula dakwah dalam bidang pendidikan dan kemiskinan.
Dalam kesempatan itu, Sholihin juga menekankan, kekuatan Muhammadiyah dan ortom juga bisa berupa eksistensi amal usaha Muhammadiyah (AUM). “AUM punya tiga fungsi yaitu dakwah, kaderisasi, lahan berjuang dan beramal,” ungkapnya.
Ia menyayangkan, banyak amal usaha yang tidak melahirkan kader. “Bahkan banyak orang menjadi pengurus di AMM yang tidak menjadi kader. Karena itu, mari eksistensi amal usaha ditingkatkan lagi. NA punya program menyentuh di sana, akan sangat menarik,” terangnya.
Sebab, masyarakat miskin itu kasihan. “Ia akan mengikuti siapa yang memberi. Tidak berpikir yang diikuti baik atau buruk yang penting dia memberi,” ungkapnya.
Dengan Nasyiah ikut berdakwah pada masyarakat miskin, ia yakin bisa terangkat martabatnya masyarakat miskin itu. Pasalnya, di luar sana, masyarakat miskin ini dipelihara karena menjadi komoditas.
“Dulu latar belakang Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah itu ya karena kemiskinan dan kebodohan serta rendahnya kualitas sumber daya Muhammadiyah dan pengaruh dari luar yang luar biasa,” jelasnya.
Akhirnya ia berharap, seluruh dakwah komponen Muhammadiyah bisa dirasakan masyarakat. “Saya ingin dari NA lahir tokoh nasional, pakar-pakar dari NA. Itu bisa difasilitasi, bisa didesain menjadi tokoh. Ditampilkan, diberi kesempatan!” tuturnya.
“Sekarang nggak ada tokoh, adanya toko,” candanya.
Sholihin pun mengingatkan prinsip Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, di mana konsepnya memberantas tahayul, bid’ah dan churafat (TBC). Ia berharap, hal ini bisa digaungkan Nasyiah dalam berorganisasi.
“Organisasi kita kadang hanya rutinitas, tidak menyentuh problem ideologi dalam bermuhammadiyah,” ujarnya.
Di ujung sambutannya, Sholihin mengajak peserta membaca Basmalah bersama untuk menandai Syiar Ramadhan 1445 PWNA Jatim resmi dibuka. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni