PWMU.CO – Layaknya mahasiswa baru, ternyata haji pun perlu masa orientasi. Itulah yang dilakukan KBIH Baitul Atiq kepada jamaahnya, Rabu (23/8).
Dengan menggunakan seragam khas batik berlogo Baitul Atiq, rombongan yang berjumlah 67 diajak mengenal medan haji yang akan ditempati untuk menunaikan prosesi haji pada 8-13 Dzulhijjah pekan depan.
“Ini bisa disebut sebagai MOH,” komentar Ali Abidin, jamah dari Kepatihan, Menganti, Gresik. Yang dimaksud Ali dengan MOH adalah Masa Orientasi Haji. Kontan saja istilah itu membuat tertawa rombongan.
(Baca: Subhanallah! Hujan Turun di Masjid Al Haram, Jamaah Bergembira)
MOH dimulai dengan mengenalkan wilayah Mina, yang akan menjadi tempat tarwiyahan dan mabid selama melempar jumrah. Lalu dilanjutkan ke Padang Arafah. Di sana, jamaah diberi kesempatan untuk naik ke bukit atau gunung kecil yang disebut Jabal Rahmah. “Di tempat inilah Nabi Adam dan Siti Hawa dipertemukan oleh Allah setelah berpisah 100 tahun sejak diturunkan ke bumi dari surga,” jelas Ustadz Aslich Maulana, pembimbing KBIH Baitul Atiq.
Selain itu, di Jabal Rahmah itulah Nabi Muhammad saw melakukan wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah. Selain Jabal Rahmah, di lokasi Arafah, jamaah juga ditunjukkan Masjid Namirah, tempat Nabi Muhammad saw melakukan shalat jamak qashar Dhuhur-Asar sebelum melakukan Wukuf. Di situ pula nabi memberi khutbah wukuf.
“Ini masjid Namirah yang asli,” kata Mohammad Rizal Ghithrif, salah satu anggota Rombongan. Memang, belakangan ini ada sebuah masjid yang terkenal di Lamongan Jatim, yang memiliki nama Namira. Masjid ini mendapat banyak kunjungan karena keunikannya: bersih, nyaman, dan wangi.
(Baca juga: Ramahnya Turki: Dari Tukar Jajan hingga Selfie dengan Wartawan TV Kanal 7)
Masjid Namirah di Arafah ini -sebagian masuk zona wukuf dan sebagian tidak- hanya dipakai setahun sekali saat wukuf.
Selepas dari Arafah, rombongan ditunjukkan Muzdalifah, tempat nantinya jamaah mampir semalam untuk mengambil batu-batu kecil untuk melempar jumrah. Terlihat, “panitia” haji sudah menyiapkan batu-batu tersebut di berbagai tempat di Muzdalifah. “Apa mau ambil batu-batu itu sekarang, biar nanti tidak takut kehabisan,” canda Ahmad Fauzi, anggota jamaah lainnya. Di Muzdalifah juga terdapat masjid yang hanya dipakai setahun sekali, yaitu Masjid Masyaril Haram.
Selanjutnya jamaah ditunjukkan jamarat, tempat melempar jumrah. Di situlah nanti para jamaah haji akan melakukan prosesi “melempar setan”. Lempar jumrah termasuk prosesi haji yang berat, karena biasanya jarak tenda jamaah haji Indonesia di Mina dengan tempat itu cukup jauh ditambah potensi berdesak-desakan karena padatnya jamaah.
Dengan masa orientasi ini -yang ternyata juga dilakukan rombongan lain- jamaah mendapat gambaran, bagaimana nanti akan menjalani prosesi haji. Jadi, haji pun perlu MOH. (Mohammad Nurfatoni)