PWMU.CO – Pada Takwa Ada Cinta, Khutbah Idul Fitri 1445/2024; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulisah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya
Assalamu‘alaikum wr wb
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Alhamdulillah, mari terus bersyukur atas nikmat Allah yang tak bertepi. Lalu, kepada Uswatun Hasanah, mari bershalawat, Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad.
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Alhamdulillah, Allahu Akbar! Segenap umat Islam, begitu Ramadhan berlalu dan berganti Syawal, mereka bertakbir menyebut kebesaran Allah dan memanjatkan segala puji hanya kepada-Nya. Semua itu dilakukan dengan sepenuh penghayatan, yang dibalut oleh rasa cinta yang sangat lewat getaran suara yang bersumber dari jiwa yang tenteram (muthmainnah).
Allah Maha Agung; tiada tara, tiada banding. Segala puji hanya untuk Allah, puji-pujian yang tiada habis-habisnya. Maha Suci Allah, yang memiliki kesucian selama-lamanya.
Tiada Tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, yang benar segala janji-Nya, yang menolong segenap hamba-Nya, yang menggagah-perkasakan segenap prajurit-Nya, dan yang menghacurkan semua musuh-Nya. Tiada Tuhan kecuali Allah yang Tunggal.
Saksikan ya Allah, para hamba-Mu yang baru selesai menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Kami bersimpuh di bawah kekuasaan-Mu. Kami, insya Allah, adalah para hamba yang telah kembali kepada fitrahnya. Kami adalah para hamba yang telah dapat menundukkan nafsunya. Kami adalah para hamba yang telah Engkau sucikan jiwanya. Kami adalah para hamba yang Engkau rela memberinya predikat insan bertakwa.
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Kepada kaum beriman, Allah wajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Perhatikan ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (al-Baqarah 183).
Coba kita cermati ayat di atas. Takwa itu buah dari iman dan amal shaleh. Bahwa, kepada orang-orang beriman diwajibkan untuk berpuasa (sebagai bagian dari amal shaleh). Tujuannya, kaum beriman yang berpuasa itu menjadi orang yang bertakwa.
Apa takwa? Ada yang mengartikan takwa sebagai takut. Hanya saja, kata Prof. Dr. Hamka, takwa jangan selalu diartikan takut. Hal ini, karena takut adalah sebagian kecil dari makna takwa. Di dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar, berani, dan sebagainya.
Oleh karena cinta kepada Allah, segenap kaum beriman rela bangun di awal hari, ketika kebanyakan orang masih terlelap tidur, untuk menunaikan shalat Subuh. Tersebab cinta kepada Allah, seluruh orang beriman sudi untuk menahan lapar dan dahaga serta rela untuk tidak “bersenang-senang” dengan pasangan sahnya, sejak subuh sampai Maghrib. Didorong oleh cinta kepada Allah, setiap insan beriman dengan ringan hati mau mengeluarkan hartanya dalam bentuk zakat. Padahal, sebelumnya, harta itu dicarinya dengan sepenuh pengorbanan dan kemudian dibanggakannya.
Berdasar cinta kepada Allah, kaum beriman ikhlas mengatasi segala kesulitan saat berhaji. Mereka kesulitan, sejak mulai berniat sampai melakukan haji ke Makkah yang sangat jauh dan berbiaya tak sedikit.
Terutama pada ibadah haji, kita bisa menyaksikan, cinta membuat yang jauh terasa dekat. Cinta membuat yang lemah menjadi kuat. Cinta membuat yang semula “berjalan” bisa “berlari” kencang menghampiri Allah sambil tak henti melafalkan kalimat Labbaika, Allahumma labbaik.
Pada saat berhaji, talbiah adalah serangkaian kalimat persaksian seorang hamba kepada Allah: Labbaika, Allahumma labbaik. Labbaika, laa syarika laka, labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka, wal mulka laka. Laa syarika lak (Ya Allah, inilah hamba datang, hamba datang memenuhi panggilan-Mu. Hamba datang, tiada sekutu bagi-Mu, hamba datang. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah untuk-Mu dan segala kekuasaan hanyalah ada pada-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).
Apa “pesan” dari talbiah? Di antaranya, pertama: “Labbaika, Allahumma labbaik” adalah ungkapan kepatuhan hamba Allah dalam memenuhi panggilan-Nya. Kedua, “wal mulka laka” adalah pernyataan bahwa pemilik kekuasaan sejati adalah Allah. Di sini ada pelajaran penting, bahwa sebagai hamba Allah kita harus bisa menahan diri untuk tak mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Di atas, ada frasa “menahan diri”. Hal yang disebut terakhir, yaitu “menahan diri” adalah kecakapan atau kemampuan yang diinginkan Allah untuk dimiliki oleh semua orang beriman yang beribadah puasa.
Kemampuan “menahan diri” itu penting dan berguna bagi kebahagiaan manusia. Sebaliknya, ketidakmampuan dalam menahan diri menjadi sumber kerusakan bahkan bencana di tengah-tengah masyarakat.
Tersebab tak bisa menahan diri, tergesa-gesa ingin cepat kaya, jalan korupsi menjadi pilihan. Tersebab ingin meraih sesuatu yang sebenarnya bukan haknya, curang lalu dianggap biasa.
Lupakah mereka dengan ancaman keras dari Allah bagi siapapun yang tak bisa “menahan diri” lalu berlaku curang untuk mencapai tujuannya? Sungguh, jangan pernah lupa dengan ayat ini: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang” (al-Muthaffifiin 1).
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Mestinya, semua orang yang berpuasa tak akan pernah berbuat curang. Bukankah kita sudah dididik dan dilatih selama melakukakan puasa di bulan Ramadhan? Simaklah tiga hadits ini:
- Jangan berkata keji. “Puasa adalah perisai, maka barang siapa sedang berpuasa janganlah berkata keji dan mengumpat, jika seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar hendaklah dia mengatakan: aku sedang berpuasa” (Muttafaq ’alaih).
- Jangan berdusta. “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh rasa lapar dan haus (maksudnya, puasa) yang dia tahan” (HR Bukhari).
- Biasakanlah berkata benar, karena benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke surga. Hendaknya seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha agar selalu tetap benar, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang shidiq (amat benar). Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta akan menuntun kita berbuat curang, dan kecurangan itu menuntun ke neraka. Seseorang yang selalu berlaku curang akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta” (HR Bukhari Muslim)
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Pribadi yang bertakwa akan selalu berkata yang benar (tidak bohong). Orang bertakwa tak akan berdusta, yang kemudian bisa meningkat menjadi curang.
Insya Allah, orang yang bertakwa akan terhindar dari sifat suka berbohong alias dusta dan curang. Mengapa?
Di Tafsir Al-Azhar, Hamka menulis bahwa takwa itu memelihara. Maknanya, memelihara hubungan baik dengan Allah. Memelihara diri dari perbuatan yang tak diridhai Allah.
Tampak, takwa itu adalah sikap untuk selalu berhati-hati. Hati-hati, untuk selalu hanya mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Mari, takwa yang insya Allah kita peroleh, kita jadikan bekal terbaik di keseharian. Cermatilah ayat ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa” (al-Baqarah 197).
Berbahagialah, sebab orang yang bertakwa itu akan dibersamai Allah. Perhatikan ayat ini: “Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (al-Baqarah 194).
الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
Demikianlah! Semoga Allah yang Maha Pemaaf dan cinta kepada yang suka meminta maaf, memaafkan segala kesalahan kita. Semoga Allah Ridha dengan semua ibadah kita termasuk puasa Ramadhan.
Selamat Idul Fitri. Dengan segenap cinta, kami ucapkan: Taqabbalallahu minna wa minkum. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni