PWMU.CO – Indikator puasa yang bernilai dibahas Bendahara Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Jember Ir H M Ali Maksum, Selasa (3/4/2024).
Ia membahasnya pada Silaturahmi dan Buka Bersama Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Tanggul. Lokasinya di mushala Kampus 2 SD Muhammadiyah 1 Tanggul (SD Muhita) Jember.
Sebelumnya, Ketua Majelis Dikdasmen PCM Tanggul Drs H Hari Subagio MPd saat sambutan menerangkan, “Sore ini kita silaturahim. Rahim adalah kandungan, kita sama-sama satu rahim yaitu dalam organisasi Muhammadiyah, dan saya sebagai ketua Majelis mengajak berkumpul.”
“Mungkin nanti ada bagi-bagi amplop THR,” selorohnya diikuti senyuman para guru dan karyawan SD, SMP, dan SMA Muhammadiyah di Tanggul yang hadir.
Kemudian, giliran Maksum menyampaikan tausiah. “Kita di Ramadhan ini ada ungkapan mengalami slow down, ada penurunan belajar, ada penurunan kinerja, tapi kenaikan tidur, kenaikan waktu main HP,” candanya.
Maksum menukil al-Baqarah ayat 183.
يٰٓـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيۡنَ مِنۡ قَبۡلِکُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُوۡنَۙ
Dari ayat itu ia menjelaskan, “Kata yang utama adalah ash-Shiyam (puasa) dan kata yang kedua adalah tattaqun (takwa). Jadi ash-Shiyam berbanding lurus dengan ketakwaan.”
Maksum menjelaskan, menurut Rasulullah, jika tidak dapat meningkatkan ketakwaan, mungkin ada beberapa variabel puasa yang hilang. “Berapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga? Itu karena tidak disertai imanan wahtisaban!” ungkapnya.
Ia mengingatkan, “Keyakinan kita, kita menjalankan puasa itu sedang menjalankan perintah Allah. Keyakinan kita, segala sesuatu dari yang kita perbuat dinilai dan diawasi oleh Allah. Imanan wahtisaban adalah penentu derajat takwa yang berbanding lurus dengan puasa. Seharusnya orang puasa itu menjadi orang bertakwa.”
4 Indikator
Maksum mengungkap empat indikator puasa yang lebih bernilai dan dapat mencapai derajat orang bertakwa. “Yang pertama adalah yunfiquna fissarra–i waddlarra–i, yang kedua wal kadzimi wal ghaida (manajemen marah), yang ketiga wal ‘afina ‘aninnas,” ungkapnya merujuk Ali Imran ayat 134.
Kemudian merujuk Ali Imran ayat 135, Maksum lanjut menjelaskan, “Yang keempat, walladziina idzaa fa‘alu faahisyatan au dzhalamu anfusahum dzakarullaaha fastaghfaruu lidzunuubihim, wa may yaghfirudz-dzunuuba illallaah, wa lam yushirruu ‘alaa maa fa‘aluu wa hum ya‘lamuun.”
Empat indikator itu yang kata Maksum harus menjadi perhatian sebagai wujud puasa yang imanan wahtisaban. “Kalau puasa hanya menahan lapar dan dahaga, seperti burung di dalam kurungan yang dibiarkan tidak makan dan minum, atau kucing dibiarkan tidak diberi makan,” tutur dia.
Puasa semata-mata imanan wahtisaban ini, kata Maksum, ada nilai pelatihan untuk membangun jiwa menjadi nafsul muttaqin (jiwa-jiwa yang bertakwa). Maksum menegaskan, indikator pertama bukan bermakna memberikan di saat senang saja.
“Kata yunfiqu tergolong fi’il mudhari’ yang maknanya sedang, telah dan terus berlangsung. Maka semangat untuk memberi bukan hanya Ramadhan saja. Yang memberikan takjil seharusnya tidak dilakukan di Ramadhan saja. Semangat itu harus ada di luar bulan Ramadhan memberikan apa yang kita cintai,” ajaknya.
Ia juga menuturkan, memberi bukan hanya barang tapi juga jasa. Ada kompilasi hukum Islam yang mewajibkan zakat profesi. “Maknanya barang dan jasa bukan hanya bukan jual beli, bi amwalikum wa anfusikum, bukan hanya berpaku pada harta saja tapi juga berupa jasa,” ungkapnya.
Di hadapan para guru yang memberikan jasa, Maksum menjelaskan, “Guru membawa ilmunya dan jasa kepada anak didik kita. Kalau tidak, maka itung-itungannya njelimetmaksudnya ‘saya bisa memberi apa hari ini, dari yang sudah saya berikan saya dapat apa hari ini.’ Ini barangkali jarang disampaikan. Mengurangi jasa kita sama saja dengan mengurangi takaran timbangan kalau kita berdagang.”
“Misalnya menyumbang semen 1 kilo ya 1 kilo, karena alasan puasa tak kurangi. Kalau jasa, kita tidak pernah berpikir ke sana walaupun dikurangi diskonnya, dikurangi jam mengajarnya,” tuturnya.
Adapun semangat Ramadhan ini, kata Maksum, yang penting melebihkan apa yang bisa kita lakukan untuk bisa diberikan kepada yang lain.
Akumulasi Lalai
Maksum lantas menceritakan dialognya dengan tukang bangunan. “Ke sini malas tapi pulangnya semangat. Pukul 7 alasan puasa katondu (malas/ngantuk dalam bahasa madura), pulangnya jam 3 rengkes cakang (bersih dalam pekerjaannya dan semangat pulang),” kenangnya.
Kemudian waktu mereka menerima bayaran, tukang bangunan itu protes karena bayarannya berkurang. “Mak, korang sebu. Mak, korang maebu. (Kok kurang seribu, kok kurang lima ribu),” kata dia.
Maksum menyadari, itulah yang sering banyak orang lakukan. “Maka semangat Ramadhan mampu memberikan yang terbaik, mampu memberikan yang lebih daripada apa yang kita terima,” tuturnya.
Dalam matematika, kata Maksum, ada yang namanya akumulasi. “Akumulasi adalah kumpulan dari suatu nilai-nilai yang asalnya kecil ditambahkan menjadi besar. 10 awalnya 1+ 1, 10 bukan 9+1, 0,5 x 20 juga 10,” contohnya.
“Angka-angka yang kita lalaikan seringkali seperti sebuah batu kecil atau kelereng kecil. Jika kita tidak waspada maka akan terpeleset. Kita tidak pernah tersandung batu besar atau gunung, kita sering tersandung batu kecil,” jelas Maksum.
Selanjutnya, Maksum menegaskan tentang puasa yang berkualitas. Puasa yang berkualitas berbanding lurus dengan ketakwaan.
“Innalil muttaqina mafaza. Allah memberikan kemudahan (an-Naba’ ayat 31) dan Allah memberikan rezeki, wayarzuqhu min haitsu la yahtasib. Allah akan mencukupkan rezekinya, fahuwa hasbuh (at-Talaq ayat 2-3). Tapi itu semua tidak tercapai ketika tidak memiliki iman,” terangnya.
Dampaknya jika terjadi, kata Maksum, muncul kecewa belum bisa merasakan rabbana ma khalaqtahadza batila, seperti pada Ali Imran ayat 191.
Raja dan Pengawalnya
Maksum melanjutkan dengan kisah seorang raja bersama pengawalnya. Pengawal sangat peduli kepada rajanya.
Suatu saat raja berburu. Ketika berburu, raja diserang macan. Si pengawal tidak bisa menyelamatkannya. Jari raja putus dan pengawalnya tidak bisa menjaga. Akhirnya raja marah, lalu mengutus hakim untuk menjebloskan pengawal ke penjara karena dianggap teledor.
Beberapa hari kemudian, raja berburu lagi. Di tengah perjalanan dia terjebak di suatu lembah yang dihuni kaum yang keras dan sedang mencari persembahan. Ketika raja akan dijadikan persembahan, setelah diteliti, raja batal dijadikan persembahan karena cacat, jarinya putus. Karena merasa tidak cocok, mereka cari yang lain.
Akhirnya sang raja pulang dan berterima kasih kepada pengawal. “Terima kasih pengawal. Dengan putusnya jari saya menyelamatkan jiwa saya,” kata sang raja.
“Mungkin kalau saya tidak dipenjara maka dijadikan persembahan,” kata pengawal dengan rasa syukur.
Dari kisah ini, Maksum menjelaskan makna yunfiqu. Yakni bukan hanya menginfakkan apa yang kita punya, tapi jiwa raga kita persembahkan.
Setelahnya, Maksum menjelaskan indikator kedua, walkadziminal ghaidla. Yaitu mengelola dan memanajemen kemarahan.
Indikator selanjutnya adalah wal afina aninnas, memaafkan kepada semama manusia. Memaafkan ada di bagian kehidupan kita.
“Ada perbedaan antara marah dan tegas. Seorang tentara yang melakukan pelatihan harus diberikan ketegasan karena yang dihadapi adalah kematian, membunuh atau dibunuh. Oleh karena itu perlu kedisiplinan tinggi,” contohnya.
“Begitu juga kepala sekolah, Dikdasmen, memberikan ketegasan dan bukan kemarahan, agar kita bisa eksis, mampu untuk menghadapi tantamgan ke depan,” jelas Maksum.
Maksum mengibaratkan Muhammadiyah bagaikan perahu besar. “Kepala sekolah membangun sebuah kedisiplinan dan kekokohan. Kita ada dalam satu rahim, kalau rahim terlalu kekecilan kita dalam sebuah perahu besar. Seorang nakhoda memiliki tanggung jawab untuk semua keselamatan kapal dan awaknya,” lanjutnya.
Jika ada salah seorang saja melubangi kapal maka seluruh kapal akan tenggelam. Maka diperlukan kepedulian kepada sesama.
“Jika kita tidak peduli kepada sesama, ya sudah tenggelam semua. Maka Allah mengingatkan takutlah kamu akan ditimpakan kepada yang bukan orang zalim saja (al-Anfal ayat ini 25). Lembaga ini seperti sebuah kapal. Jika tidak ada rasa saling memiliki, seperti kapal tadi,” tegasnya.
Silaturahmi ini diakhiri dengan buka bersama dan shalat Maghrib berjamaah. (*)
Penulis Muhammad Arief Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni