Rektor Umsida Khotbah tentang Pentingnya Kejujuran; Liputan Idul Fitri 1445 oleh Dian Rahayu Agustina
PWMU.CO – Hari ini seluruh dunia memuji Allah. Semua mengagungkan Allah. Semua makhluk bertasbih, bertahmid, dan bertakbir. Semua tidak ada apa-apanya. Kita manusia sudah melaksanakan ibadah puasa, dan hari ini sebagai penutup, kita melaksanakan shalat Idul Fitri.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Hidayatulloh MSi menyampaikan pernyataan dalam khotbah Idul Fitri di pelataran SD IT Nurul Fikri Saimbang, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Rabu (10/4/2024).
Di depan warga Muhammadiyah Ranting Kebon Agung, Hidayatulloh mengatakan, setelah berpuasa kita berharap menjadi orang yang bertakwa. Kita dididik dan dilatih menjadi disiplin, sabar, jujur, dan bertanggung jawab. Semua itu hanya mengharapkan ridha Allah.
“Jika selama satu bulan penuh kita berusaha meningkatkan hubungan baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia, maka perjalanan sebulan penuh untuk meningkatkan hubungan baik itu akan membekas,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu.
Dia menjelaskan, di antara nilai yang dominan kita rasakan adalah kejujuran. Ini wajib dipraktikkan. Barang siapa yang bersikap masa bodoh, padahal dia tahu harus jujur, bersikap baik namun diabaikan maka Nabi mengingatkan, “Allah tidak memiliki kepentingan sedikitpun terhadapnya.”
Mantan Kepala SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo itu menegaskan, “Jika kita tidak menjaga ucapan, berkata kurang sopan, Allah marah. Sikap baik dan menjaga hubungan baik adalah kewajiban umat manusia. Puasa melatih itu. Puasa menjaga sikap, tidak menipu diri kita dan Allah tentunya.”
Kejujuran, sambungnya, adalah kesesuaian apa yang diucapkan dan yang dilakukan. Kita sudah menempa kejujuran antarsesama. Dengan berbuat kebohongan, kita merusak hubungan dengan sesama manusia dan Allah. Dan kejujuran ini harus dijaga hingga Ramadhan usai dan setelahnya.
Kisah Abu Nawas
Pak Hid, sapaannya, lalu mengutip Ayat 70-71 Surat al-Ahzab: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan tetap menjaga amalan baik, merekalah orang yang beruntung.
Dia juga membacakan Surat an-Nahl 105: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.”
Menjelaskan ayat-ayat di atas dia menyitir hadits dari Ibnu Mas’ud RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur akan dicatat Allah sebagai orang yang jujur. Sedangkan kebohongan mengantarkan pada kedurhakaan, dan kedurhakaan mengantarkan ke neraka.’’
Pak Hid menerangkan, hadits tersebut menjelaskan setiap kejujuran akan melaksanakan kebaikan. Dan setiap kebaikan akan mengantar ke surga. “Ini rumus silogisme, A=B, B=C, dan jika A=C.”
“Nabi melanjutkan, dan jika dia menjaga kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Orang jujur akan masuk surga,” terangnya.
Hidayatulloh lalu menyampaikan cerita Abu Nawas: “Aku sedang melihat surga di dalam topiku. Semua boleh saja melihat topiku, kamu juga boleh melihat topiku. Namun aku tidak yakin kamu bisa melihat surga beserta bidadarinya. Yang melihat hanya yang shaleh.”
Lalu Abu Nawas dilaporkan karena dianggap berbohong. Di depan Raja, Abu Nawas diadili. Singkat cerita Raja mengiyakan bahwa di dalam topi tersebut ada surga dan bidadari. Mereka takut dicap tidak beriman. Itu bentuk ketakutan berjamaah hingga keberanian tenggelam.
Pak Hid mengatakna, ketakutan berkata jujur, takut dianggap tidak beriman membuat kebohongan berjamaah hingga keberanian untuk terbuka tenggelam. Jalan untuk berbohong terbuka lebar.
“Nah menumbangkan kebohongan demi kebohongan secara berjamaah atau kebohongan publik lebih sulit diatasi. Tidak semua manusia mampu menghadapi hal tersebut, karena hal ini membutuhkan keberanian,” katanya.
Kasus legitimasi kebohongan terjadi di masyarakat. Jika ada pemimpin berbohong maka rakyat akan membacanya dan menganggap sebagai sebuah kebenaran. Pemimpin digugu dan ditiru, maka pemimpin harus berkata benar dan menghentikan kebohongan tersebut. Pemimpin harus berani berkata jujur dan bersikap benar, berani bertindak jujur.
Maka, kata Hidayatulloh, bangunan kejujuran harus kita jaga dan kita kembangkan. Allah berfirman dalam at-Taubah 119: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar!”
Menurutnya, penegasan bahwa Allah Maha Penerima tobat diikuti dengan perintah: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sungguh-sungguh berupaya melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang benar, jujur dalam ucapan, perilaku dan perbuatannya.
Berani bersikap jujur. Insyaallah jika kita bersama dengan orang-orang yang baik dan benar, maka kita akan selamat.
Editor Mohammad Nurfatoni